In the beginning of Netflixās āKlausā, we see the main character, Jesper, as a lazy, rude, spoiled disaster ā which reminds me a lot with Disneyās āThe Emperorās New Grooveā Emperor Kuzco.
What happened next was a beautiful story of a solitary island in the northern area, filled with snow, and how the legend of Santa Claus was born.
āKlausā, for me, is like a soothing and cooling ointment after a bitter concoction called Disneyās āFrozenā (the first one; I havenāt watched the second one ā my friends said it was good and I trust them, but I donāt want to watch it for now. Itās school break in Malaysia right now, so movie theaters might be as well as a fresh Greek hell.) My favorite part in the movie is when a SĆ”mi girl, named Margu, appears. She talks in SĆ”mi language ā and this, for me, respects the culture of Nordic countries and tribes. Not so sure what āFrozenā brought, after a really beautiful opening song of āVuelieā (itās a SĆ”mi word!) and āBeware of Frozen Heartā with Nordic rhythm and melodies and suddenly those two songs got eclipsed, butchered, and thrown away āthanksā to āLet It Goā.
āKlausā tells a story of a lazy spoiled postman, named Jesper, who got sent to a place called Smeerensburg way up in the north where two clans fighting with each other for ages; even the elders forgot the reason and didnāt know why they fight on the first place. Jesper needed to deliver 6000 letters in one year and should he able to fulfill it, he will be able to go back home and enjoy his previous luxurious life. He met Klaus, a reclusive woodsman and carpenter, and together they started a mission: Sending toys to the children of Smeerensburg.
Honestly, no characters I dislike from this movie; even the main antagonist, the sly sinister Mrs. Krum, she reminds me of āThe Emperorās New Grooveā Yzma. I love the character designs on this movie; you can see the hilarious zombie-look from some of the kids characters which reminds you of Tim Burtonās āThe Nightmare Before Christmasā. I found myself laughing loudly while snorted, ādelightful!ā when there was a scene of a kid stabbing a carrot on a snowman and the kid looks like Tim Burtonās.
Jesper has this laid-back attitude which I love; he spews words a lot! (Kudos, Jason Schwartzman!) And such a talkative, animated person. Alva, a teacher cum fish seller, the female protagonist of the movie is full of spirit, brilliant, and I really hope she could have more scene moments. Klaus is like this massive massive massive (grumpy) teddy bear that you canāt help not to love.
And the chickens! At some point its beady eyes remind me of āMoanaā Heihei. I really love the chickens! So round and goofy-looking.
Jesper character sheet
The art of this movie is outstanding. I love how the team combined 2D and 3D. It has its own charm and I love how you can see the deliberate brush strokes on the art, instead of trying everything go uber detailed. It can combine the freezing cold of nordic countries and the warm comfy hearth of fireplace.
There is this one line from the movie that I keep thinking about.
āItās only a matter of time until the children started to go against each other like it used to be. Do you think for how long the grown-ups will follow, hm?ā
That line defines everything, and somehow, it rings so true with our reality. It acknowledges the power the younger generations have: To create a change. Hopefully, for the better.
āKlausā is not the first animation movie trying to challenge the Goliath called āDisneyā. There are many out there, beautiful wondrous animation works, worthy to be put alongside ā or even better ā than Disney. And for that, I urge you to watch āKlausā.
This is a beautiful movie about friendship and kindness; a warm cocoa for your days.
(Bok. Lagi pengen banget akun Premium atau Business-nya WordPress, bok. Hamba pengen banget punya blog pake domain .blog, bok. BELIIN GW DONG PLIS //meminta-minta)
Temans, kalian ada ga yang selama ini badannya ga ada masalah mendadak kok ternganu-nganu?
Jadi gw kan selama ini baik-baik aja ya kulitnya. Bisa dibilang kulit badak, malah. Lalu bulan lalu, mendadak jari tangan gw — jari manis dan jari kelingking — tangan kanan gw jadi keriiiing banget. Keringnya itu KERING PARAH. Langsung mengelupas hebat sampe lecet dan perih. Itu sampe dua jari ga ada sidik jarinya.
Asli gw bingung kenapa deh. Sebenernya gw curiganya itu bisa jadi karena sabun sereh batangan yang dikasih nyokap (soalnya dari industri rumahan yang gw, jujur aja, ga terlalu yakin ada nomor BPOM-nya atau nggak dan melalui tes dermatologis atau nggak,) atau karena emang lagi sial aja — gw orangnya rada hipokondriak/hypochondriac. Punya kekhawatiran berlebihan akan kuman (rada absurd karena sebenernya gw ini orangnya jorok) jadi gw sering banget nyuci tangan gw. Nah, sabun cair itu kan sifatnya secara umum itu bikin kering karena mengandung sulfat, jadi mungkin macem kulit akhirnya tumbang juga pertahanan jadi kering gitu kali ya?
Ada juga yang bilang kalo reaksi kulit kaya gitu — flare ups, eczema — bisa jadi karena stres. Itu juga gw setuju sih. Gw punya eksim di belakang telinga gw. Kalo gw udah stres, woelah, itu bisa kering banget kulit sampe ngelupas. Eksim itu beda dengan panu atau jamuran lho ya. Ga menular sama sekali. Murni itu reaksi kulit. Sama kaya kerang nautilus yang retak kalo kena tekanan (BEDA HOY!)
Nah, ini kondisi jari gw nih. Ini udah mendingan banget nget nget dibanding sebelumnya selepas gw pake krim tangan (dibahas selepas foto ini.)
Itu keliatan kulitnya ada yang masih ngelupas — dan minggu lalu, itu ngelupasnya parah banget sampe berdarah. Sebenernya sekarang pun masih, kalo gw lupa pake krim tangan atau selepas mandi.
(BTW, kuku gw napa jorok bener ya hhhh. Potong kuku abis ngeblog ini ah.)
Begitu kulit gw mulai ngaco gitu, gw langsung ricek ulang semua produk yang gw pake. Body wash anti bakteri gitu langsung gw ga pake — soalnya sifat body wash anti bakteri itu juga bikin kulit kering. Sebenernya nih, body wash itu secara otomatis bikin kulit kering. Malah sebenernya mereka itu bukan sabun.
Nah lho, bingung? Coba aja cek kemasannya, ga ada yang ngeklaim “sabun” lho. Selalu “body wash“. Kalo sampe ada yang klaim sabun, patut dipertanyakan dan bisa dianggap menipu konsumen.
Jadi gini, sabun itu sebenernya lemak yang dicampur… errr, kata ‘dicampur’ kurang tepat. Salah banget malah. Jadi aslinya itu ‘hidrolisis’ — hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol dalam kondisi basa. Asam lemak yang gandengan dengan natrium atau kalium itu lah yang disebut dengan sabun.
Ada yang pernah nonton film ‘The Fight Club’ karya sutradara David Fincher? Film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Chuck Palahniuk itu ada adegan si Tyler Durden nyolong lemak (manusia) dari klinik kecantikan liposuction/sedot lemak untuk kemudian lemaknya itu dijadiin sabun.
Sedangkan ‘sabun cair’ yang nama aslinya body wash itu sebenernya adalaaaaaah…
Deterjen.
Sudah ada pergeseran makna di masyarakat, kalo deterjen itu ya Rinso, So Klin, dan kawan-kawannya. Tapi rata-rata agen pembersih yang kita pake sehari-hari itu, ya body wash itu, masuk ke dalam kategori deterjen. Kenapa? Jadi deterjen ini adalah gabungan beberapa senyawa yang memudahkan proses pembersihan.
Bedanya dengan sabun apa dong? Kan sama-sama bersihin?
Gampangnya — JIEEE GAMPANGNYA. KAP, MASIH INGET KIMIA JAMAN SMU APA GIMANA NIH KAP. BUKANNYA CUMA INGET MANTAN GEBETAN? — kalo sabun itu PASTI mengandung NaOH (natrium/sodium hidroksida) atau KOH (kalium/potasium hidroksida). Deterjen? Nggak.
Nah, deterjen itu biasanya mengandung SLS atau SLES (sodium laureth sulfate) yang fungsinya itu ngebanyakin busa. Busa ini penting dalam produk deterjen karena membuat agen pembersih menyebar lebih luas. Kaya gini deh, gini: Kalo lu pake body wash, cuma seciprit bisa buat sebadan kan? Nah itu karena busanya banyak. Produknya tersebar lebih merata.
Kandungan sulfat ini lah yang biasanya jadi pemicu utama kulit kering. Kenapa? Saking efektifnya membersihkan, sampe kelembapan kulit pun keangkat pula.
Jadi gw akhirnya pake merek St. Ives body wash yang varian Oatmeal — emang spesifik untuk kulit kering. Lumayan menolong; dan emang keliatan, begitu gw pake body wash anti-bakteri, langsung itu meradang lagi kulit.
Tapi pas itu masih suka kumat. Udah lah katanya kulit langsung retak gitu karena stres, ini ya gw stres kenapa kulit gw stres gini kan. Gw coba pake lotion Vaseline, oke lah, lumayan membantu. Tapi tetep aja krak krek krok tiap pagi. Anehnya, krim Lucas Papaw ga membantu sama sekali! Aneh banget! Padahal Lucas Papaw itu canggih banget buat bibir retak-retak dan kering.
Lalu gw ngeliat iklan ini dong di Youtube.
Pas bagian “my skin would crack so badly and I would lose all my fingerprints” itu gw langsung macem, “OMG I’M WITH YOU SISTAAAAA!” Itu Michelle kayanya semua jarinya yang kulitnya meradang. Gw yang cuma dua jari aja riweuh, apalagi dia, huhuhu.
Penasaran kan. Minggu lalu, hari Minggu tepatnya, gw di Guardian nyoba nyari produk Dove DermaSeries itu. Iya sih ya, macem kemakan iklan.
Nemu, dan ternyata Dove DermaSeries itu juga ada dalam bentuk body wash, body lotion, hand cream, dan balm. Harganya lumayan di atas rata-rata varian produk Dove yang lain. Bahkan beda jauh. Kalo Dove varian biasa itu body wash dengan ukuran 550 mL harganya RM 13.11, Dove DermaSeries body wash ukuran 467 mL itu harganya RM 55.94.
Gw beli hand cream aja. Ga sampe yang lain-lain, soalnya ya itu — mahal. Untuk body lotion gw juga lebih condong ke Vaseline. Vaseline yang coklat/cocoa butter itu nah, melembabkan banget. Teruji lho. Waktu gw hamil, gw pake itu di perut kan. Perut gw ga ada stretch mark sama sekali sampe ditanya dokter kok bisa, hahaha.
Harga Dove DermaSeries hand cream ini RM 35.84. Untuk klaimnya yang katanya fragrance free, non-sticky dan teksturnya ringan, ini sebenernya menarik.
Jadi tekstur memang ringan. Gw sempet ngira namanya juga krim tangan kan, biasanya teksturnya itu padat dan kental. Ternyata ringan, malah lebih mirip lotion.
Pas dipake, kesan pertama adalah… Licin. Licin banget, malah. Ada butuh waktu semenit di gw untuk produknya itu menyerap sempurna di tangan. Gw malah ngeri waktu abis pake krim itu lalu megang cangkir kopi, takut cangkirnya ketlisut di tangan gw, hahaha. Bisa jadi rasa licin itu dari gliserin.
Terus baunya itu kaya bau… Ragi? Hahaha. Kaya bau-bau adonan roti gitu deh. Tapi ya gw yakin bukan ragi lah ya. Kaya bau-bau krim obat dari dokter kulit gitu deh. Tapi baunya cuma ada pas dipake. Ga lama juga ilang itu baunya, jadi ga mengganggu.
Nah, selepas pake krim tangannya itu, jari gw berangsur membaik. Gw sendiri make krim tangannya lumayan sering. Pokoknya selepas gw cuci piring dan cuci tangan deh, gw pasti ambil krim sedikit lalu oles-oles ke tangan. Nah, hasilnya ya kaya jari yang gw tunjukin di foto di atas. Jauh mendingan dalam waktu 2-3 hari. Gw juga banyakin minum air putih — apalagi kalo gw kelar minum kopi.
Sebenernya ini krim tangan pertama gw. Gw cenderung ga percaya dengan gimmick macem krim tangan karena buat gw lebih kaya “body lotion yang dikemas di tabung lebih kecil aja dan dijual dengan harga yang lebih mahal aja.” Tapi gw ga nyesel beli krim tangan ini. Gw pake juga di siku dan lutut, hasilnya juga kulit gw jadi lebih baik.
Buat yang kulitnya mendadak kering dan meradang, varian Dove DermaSeries ini mungkin bisa dicoba. Eh, ini bukan iklan lho ya. Kalo iklan, gw udah pasti akan tulis di awal — TAPI SAMPE SEKARANG BELUM ADA TUH GW DIMINTA REVIEW PRODUK BUAT IKLAN MAU DONG MAU KIRIMIN GW LIPSTIK SETRUK YA HALO L’OREAL HALO CANMAKE HALO REVLON HALO INNISFREE HALO FENTY BEAUTY. Kalo ada yang punya rekomendasi krim atau pelembab khusus kulit kering merek lain, monggo banget dibagi infonya. Gw sebel aja sih kenapa ya produk untuk kulit kering dan sensitif itu mehel-mehel ya, huhuhuhu.
Apakah gw akan beli lagi? Kalo belum ada alternatif sebagus ini dan kalo gw butuh lagi, ya gw akan beli lagi.
Horeee, akhirnya kiriman dari Lombok Bangkit tiba jugaaaa, hahaha.
Sedikit cerita dulu ya; sebelumnya gw udah cerita di IG Stories (IG: retnonindya) tapi kan cuma 24 jam, jadi cerita lagi di sini.
Sebenernya ketemu akun Lombok Bangkit di Instagram ini karena kegigihan adminnya yang suka nyapa di bagian komentar. Walaupun “ga jauh beda” dengan kebiasaan banyak admin online shop lain, Lombok Bangkit terus menyuarakan promosinya dengan mengajak calon pembelinya untuk ikut berpartisipasi dalam membantu para korban bencana Lombok dan menggiatkan kembali sektor industri di Lombok.
Ya banyak dari kita yang tau kan, kalo Lombok terkena gempa bulan Juli lalu. Itu juga gempanya nggak cuma sekali, tapi berkali-kali. Abis gempa utama itu, muncul notifikasi di BMKG tuing tuing tuing berkali-kali gempa susulan; ajib, apa ga bikin paranoid ituuuu, apa ga bikin trauma ituuuu. Gw bisa dijamin udah nangis sambil jongkok itu.
Karena gempa itu juga lah, banyak turis yang belum berani datang ke Lombok — dan kalaupun mereka mau datang saat ini, sektor pariwisata Lombok belum 100% pulih. Gw terdiam ketika ngeliat IG Stories-nya bang Oo’ ketika dia di Lombok, sekilas dia cerita kalo hotel yang dia tempati masih melakukan pemulihan di sana-sini, tapi nggak bisa 100% tuntas karena masih banyak karyawan yang juga nggak masuk, karena tamunya masih sedikit, tapi mereka butuh uang untuk pemulihan. Ya muter aja gitu, Lombok butuh biaya untuk pemulihan, tapi uang dari turisme, salah satu sektor penting di Lombok, belum ada banyak karena jumlah turis juga masih sedikit banget, sehingga nggak ada uang dan pemulihan belum bisa berjalan lancar.
KAN STRES YHA LIATNYA.
Mau gimana juga, kepikiran dong gimana temen-temen di Lombok bertahan hidup? Sampe kapan mereka musti dalam situasi dilema begitu?
Nah, masuk lah ini Lombok Bangkit.
Gw yakin, nggak cuma tim Lombok Bangkit yang berupaya mempertahankan sektor industri Lombok; banyak juga online shop dari Lombok yang bekerjasama dengan para pengrajin dan produsen di Lombok yang ikut rame-rame berusaha meramaikan bisnis kembali demi bertahan hidup. Salut banget ih, hebat-hebat banget.
Iseng dong, gw liat-liat kan IG Lombok Bangkit (IG: lombok.bangkit), tiga foto paling atas — saat itu — bikin gw kaget.
Tau ga, sedekah paling berkah, apa yang mendefinisikan kita sebagai manusia dengan segala kemanusiaannya, hal yang paling mulia itu apa?
Ketika kita lagi kesusahan, dan tetap membantu orang lain.
Orang Lombok dengan antengnya bilang, “kami tau rasanya. Ayo, kami bantu.”
Gw dulu suka nonton saluran DAAI TV; dan pendiri Yayasan Tzu Chi, Master Cheng Yen, pernah berkomentar hal yang sama.
Gw inget betul, saat itu gempa Haiti tahun 2010, tim Tzu Chi ada di sana untuk bakti sosial. Master Cheng Yen ngomong, “saat terbaik untuk membantu orang lain adalah ketika kita sendiri kekurangan.”
Gw yang, “… … … … HAH GIMANA CARANYA.”
Lah. Kalo dipikir-pikir, iya juga kan?
Kalo ada banyak duit nih, Alhamdulillah, kan ya Insya Allah gampang atuh mah kalo mau bantu orang kan? Butuh seberapa sih nih nyoooh nyoooh ta’ gawekna duit gitu.
Kalo kita lagi kekurangan? Tapi eh ada rejeki sedikit nih, bagi-bagi sedikit juga Insya Allah masih cukup. Daripada satu orang kenyang satu orang laper, siapa tau bisa dua orang kenyang. Itu maksudnya Master Cheng Yen.
Gw dengan keterbatasan geografis, di negeri jiran, hanya bisa membantu dengan membeli kerajinan tangan dari para bapak dan ibu pengrajin Lombok. Harapannya, Bismillah, Insya Allah, bisa membuat para pengrajin Lombok tetep semangat dan terus berkarya.
Nah, jadi gw ngirim komentar di IG-nya Lombok Bangkit kan. Nanya dulu nih: BISA KIRIM KE MALAYSIA NGGAK?
KENAPA WAHAI KAU MARTHA TILAAR SARIAYU GA KIRIM KE MALAYSIA HAH.
//eh udah bisa belum sih gw ga tau ahuehauehauhe.
Langsung dibales dong.
“Insya Allah bisa, kak. Ke negara-negara ASEAN, kami menyanggupi. Terakhir kami baru kirim ke Turki.”
ASEK.
TANTE SUKA KEMUDAHAN BERTRANSAKSI SECARA REGIONAL BEGINI. HOHOHO.
Abis itu komunikasi lewat WhatsApp, dan nanya-nanya lah gw soal katalog produk dan harga.
Liat-liat katalog kan.
Hampir kalap, men.
Ada gelang mutiaraaaaaa. Gw lemaaaah kalo urusan mutiara. Berlian? Cih apa itu karbon kemahalan. Mutiara itu lhoooooo. Terus dengan gagah beraninya gw mencoba menanyakan perlengkapan rumah macem mangkuk, alas piring, gitu-gitu kan.
KENAPA GW GAGAH BERANI KARENA GW PASTI KALAP.
GW UDAH ME-PERSONA NON GRATA-KAN DIRI GW SENDIRI DARI IKEA.
Terus kain tenun khas Lombok. Bikin emosy jiwa. Ih, mau gw tag buat bulan depan ah.
Nggak kaya mantan calon gebetan yang ngacak rambut bikin hati berantakan abis itu ngilang.
Sedih akutu…
//GIMANEEEEEE
Setelah sekian jam “aduh yang mana yaaa aduh ini lucu aduh itu juga lucuuu aduh ini mauuuu aduh ini gimana dong SAYANG AKU MAU INI BELIIN YAAA yah pelit ga dibeliin hhhhh,” akhirnya gw mutusin beli gelang mutiara dan alas piring ukuran besar (large). ITU SAJA DULU CUKUP. REKENING BANK SUDAH MENJERIT ELING ELING ELING.
Awalnya bingung, dikirim ke Malaysia atau ke rumah ipar di Depok (yang diambil nanti ketika mudik); tapi Ari nyaranin supaya dikirim ke Jakarta aja, ke hotel tempat dia nginep. Nah, memang iya, Ari dinas ke Jakarta awal Oktober kan. Ihiy, jadi lah minta dikirim ke Jakarta aja dulu.
Sabar banget asli mereka ini mah ngadepin gw yang bawel gini.
Alhamdulillah, hari Kamis paket sudah tibaaaa~ Hari Jumat malam, Ari tiba di Kuala Lumpur. Nah ini barusan gw buka paketnyaaaa~
Di dalemnya, masing-masing barang dibungkus lagi dengan plastik (ya bukan barang gampang pecah juga sih, jadi ga usah heboh gitu ngebungkusnya) dan selotip supaya nggak gampang coplok.
(((GAMPANG COPLOK)))
Ini gelang mutiara yang gw pesen. Suka deeeeeh.
Gw suka desainnya ga heboh gitu. Cukup di mutiara aja. Bukan yang tipe ngajakin berantem.
Untuk gelang mutiara, disediakan kotaknya juga untuk tempat penyimpanan.
Ini alas piring yang gw pesen. Suka gw, ukurannya gede, mengakomodir panci atau alas lauk yang ukurannya gede-gede, hahaha.
Malah kayanya kalo buat hiasan dinding, lucu juga ya (?) Tinggal dikasih kait gitu. Bisa banget untuk prop fotografi juga.
Gw beli empat, jadi kalo pas di meja makan butuhnya banyak untuk lauk ya kepake, heuhe.
Ini foto detilnya.
Seneng banget dan puas banget! Terima kasih banyak, tim Lombok Bangkit! Insya Allah akan datang pesanan berikutnya, wahahahaha~
Sekarang mau, hmmm, review (?) Gimana ya, dibilang review juga bukan kata yang tepat soalnya karya-karyanya Edgar Allan Poe ini kan karya klasik, dan gw juga ini aslinya nggak ngebahas karya-karyanya beliau. Cuma heboh sendiri soal buku ini sih, heuhe.
Jadi aslinya itu kemarin gw kan jalan-jalan ya ke area Bukit Bintang naik MRT. Area Bukit Bintang itu area mall dan pertokoan yang sebenernya semacam kebagi jadi dua; area mevvah, dan area, errrrrr, tidak mevvah.
Nah, di area mewah ini ada lah mall-mall macem Starhill Gallery (secara harafiah artinya ‘Bukit Bintang’. Star = bintang, dan hill = bukit) yang sak mall-mallnya dikarpetin dan harga parkirnya sejam sampe RM 20 (sementara mall biasa paling pol parkir sejam RM 4-5. Malah ada yang RM 1,) Pavilion Bukit Bintang yang selalu megah hiasannya setiap hari besar atau perayaan (sampe ada temen yang bilang, “hari libur lu di KL belum komplit kalo belum liat hiasan perayaan di Pavilion,” Lot 10 yang gw udah 5 tahun di sini masih belum mampir ke sana, dan di seberangnya Pavilion Bukit Bintang ini ada mall namanya Fahrenheit 88. Fahrenheit 88 ini konsepnya anak muda. Dulu, di lantai tiga, satu lantai itu isinya barang-barang berbau Jepang, dari anime, manga, sampe pakaian. Seperti teriakan terakhir J-wave di Kuala Lumpur, akhirnya sekarang jadi area perlengkapan travelling.
Nah, di Fahrenheit 88 ini ada toko buku namanya BookXcess. Familiar dengan pameran buku Big Bad Wolf? Nah, BookXcess ini semacem head group yang punya hajatan BBW. Jadi kalo misalnya lu ga sempet ke BBW atau males kepikiran rame pengunjung dan kebetulan lu di Malaysia, mampir aja ke toko buku BookXcess. Harga buku-bukunya murah banget gila. Diskonnya bisa ampun dije.
Kemarin, gw liat lah itu buku ‘Tales of Mystery & Imagination’ di etalase kan. Ya tentu aja gw tertarik lah. Rada-rada obsesi sama The Masque of the Red Death dan The Cask of Amontillado ya begini lah jadinya.
Nah. Lu liat deh tuh harganya.
Dari RM 112.99, dipangkas jadi RM 29.90. Itu bukan pertama kalinya lho diskon bikin megap-megap gitu.
Buku ini berisikan cerita-cerita pendek dan novella karya Edgar Allan Poe yang dibarengi dengan ilustrasi oleh Harry Clarke. Harry Clarke ini awalnya seniman lukis kaca (stained glass; lukisan kaca warna-warni yang biasa ada di gereja) dan menjadi salah satu perintis gerakan gaya seni melukis art nouveau; dan malah dibilang salah satu seniman yang menggabungkan gaya art nouveau, art deco, dan simbolik. Pokoknya yang mevvah, dramatis, dan lebay begitu tante sukaaaaa, hahaha.
Pertama, soal bukunya dulu ya. Bukunya ini hard cover dengan sampul kain. Macem buku-buku klasik yang di perpustakaan isinya lemari dari kayu mahogani warna gelap terus ada perapiannya gitu. Untuk tulisan judulnya baik di sampul utama dan sampul samping, dicetak emboss dengan tinta perak. Gw suka banget; kontras hitam, merah, dan putih/perak.
Ini bukunya ketika dikeluarkan dari kotak. Nggak sedramatis kotaknya, tapi ya wajar lah ya. Nyetaknya repot kali ya *sotoy*
Dibuka, udah ada satu ilustrasi yang muncul. Ini ilustrasi dari cerita ‘The Tell-Tale Heart’; menceritakan delusi dan paranoia yang dialami seseorang setelah membunuh seorang tua di rumahnya.
Gw CINTA MATI dengan ekspresi yang dilukiskan oleh Harry Clarke ini. Gambar hitam putih, sedikit “halus”, tapi rasa teror dan kesakitan baik si korban maupun si pelaku tergambar jelas. Liat deh mukanya si korban abis dibunuh dengan mata melotot, dan mata si pelaku yang macam kegilaan sekaligus teror dan ketakutan. Harry Clarke ini bisa banget mengambil esensi horor dan kegilaan Edgar Allan Poe lalu digambarkan dengan baik di lukisan-lukisannya. Ini hal yang bikin gw terobsesi dalam menggambar, sebenernya. Gw pengen banget bisa menyampaikan ekspresi dan perasaan si karakter ke publik yang melihat dengan tarikan garis seminim mungkin.
Ini jenis tulisan/typeface yang digunakan. Nggak terlalu besar, tapi nyaman untuk dibaca.
Terus liat deh itu penanda halamannya tengkorak mini gitu, heuhehe.
Nah, ini daftar isi cerita yang ada di buku ini. Jadi Tales of Mystery & Imagination ini kumpulan cerita yang bertema thriller atau horor yang dikumpulkan setelah meninggalnya Edgar Allan Poe.
Edgar Allan Poe sendiri meninggalnya dalam kondisi yang misterius. Biasanya dia tampil dengan pakaian hitam yang rapi, namun di musim gugur, bulan Oktober 1849, Edgar Allan Poe yang saat itu berusia 41 tahun ditemukan dalam kondisi tidak sadar di sebuah bar di Baltimore, Amerika. Dia ditemukan dalam pakaian acak-acakan, yang ternyata merupakan pakaian orang lain, dan nampak memar di sekujur badannya. Dia dibawa ke rumah sakit terdekat, dan selama empat hari dia berada di limbo ketidaksadaran dan igauan sebelum akhirnya meninggal.
Nah, buat para fans Sherlock Holmes — fans beneran yang udah baca novel karya Sir Arthur Conan Doyle ya — mungkin familiar dengan nama seorang detektif Perancis yang dicela Holmes di serial pertama Sherlock Holmes, ‘A Study in Scarlet’.
Sherlock rose and lit his pipe. āNo doubt you think you are complimenting me in comparing me to Dupin, he observed āNow in my opinion, Dupin was a very inferior fellow.Ā That trick of his of breaking in on his friendsā thoughts with an apropos remark after a quarter of an hourās silence is really very showy and superficial.Ā He had some analytical genius, no doubt; but he was by no means such a phenomenon as Poe appeared to imagine.
Tapi apakah Sir Arthur Conan Doyle menghina Poe di sini? Justru nggak. Conan Doyle sangat menghormati Poe, dan menyatakan, “Where was the detective story until Poe breathed the breath of life into it?” Dengan caranya sendiri, Conan Doyle menghormati Poe sekaligus memberikan batasan yang jelas antara karakter Sherlock Holmes dengan Auguste Dupin. Dupin ya punya Poe, Holmes ya punya Conan Doyle.
Kalo pengen tau kasusnya Auguste Dupin, bisa dicari di cerita The Murders in the Rue Morgue.
have i told this story yet? idk but itās good. The Orangutan Story:
my american lit professor went to this poe conference. like to be clear this is a man who has a doctorate in being a book nerd. he reads moby dick to his four-year-old son. and poe is one of the cornerstones of american literature, right, so this should be right up his alley?
wrong. apparently poe scholars are like,advanced. there is a branch of edgar allen poe scholarship that specifically looks for coded messages based on the number of words per line and letters per word poe uses. my professor, who has a phd in american literature, realizes he is totally out of his depth. but he already committed his day to this so he thinks fuck it! and goes to a panel on racism in poeās works, because thatās relevant to his interests.
background info: edgar allen poe was a broke white alcoholic from virginia who wrote horror in the first half of the 19th century. rule 1 of Horror Academia is that horror reflects the cultural anxieties of its time (see: my other professorās sermon abt how zombie stories are popular when people are scared of immigrants, or that purge movie that was literally abt the election). since poeās shit is a product of 1800s white southern culture, you can safely assume itās at least a little about race. but the racial subtext is very open to interpretation, and scholars believe all kinds of different things about what poe says about race (if he says anything), and the poe stans get extremely tense about it.
so my professor sits down to watch this panel and within like five minutes a bunch of crusty academics get super heated about poeās theoretical racism. because itās academia, though, this is limited to poorly concealed passive aggression and forceful tones of inside voice. one professor is like āthis isnāt even about race!ā and another professor is like āthis proves heās a racist!ā people are interrupting each other. tensions are rising. a panelist starts saying that poe is like writing a critique of how racist society was, and the racist stuff is there to prove that racism is stupid, and that on a metaphorical level the racist philosophy always losesā
then my professor, perhaps in a bid to prove that he too is a smart literature person, loudly calls: āBUT WHAT ABOUT THE ORANGUTAN?ā
some more background: in poeās well-known short story āthe murder in the rue morgue,ā two single ladiesāa lovely old woman and her lovely daughter who takes care of her, aka super vulnerable and respectable peopleāare violently killed. the murderer turns out to be not a person, but an orangutan brought back by a sailor who went to like burma or something. and itās pretty goddamn racially coded, like they reeeeally focus on all this stuff about coarse hairs and big hands and superhuman strength and chattering that sounds like people talking but isnāt actually. if thatās intentional, then heās literally written an analogy about how black people are a threat to vulnerable white women, which is classic white supremacist shit. BUT if he really only meant for it to be an orangutan, then itās a whole other metaphor about how colonialism pillages other countries and brings their wealth back to europe and thatās REALLY gonna bite them in the ass one day. klansman or komrade? it all hangs on this.
much later, when my professor told this story to a poe nerd friend, the guy said the orangutan thing was a one of the biggest landmines in their field. he said it was a reliable discussion ruiner that had started so many shouting matches that some conferences had an actual ban on bringing it up.
so the place goes dead fucking silent as every giant ass poe stan in the room is immediately thrust into a series of war flashbacks: the orangutan argument, violently carried out over seminar tables, in literary journals, at graduate student house parties, the spittle flying, the wine and coffee spilled, the friendships tornāthe red faces and bulging veinsācurses thrown and teaching posts abandonedāpanels just like this one fallen into chaosādistant sirens, skies falling, the dog-eared norton critical editions slicing through the air like sabresāthe textual support! o, the quotes! they gaze at this madman in numb disbelief, but he could not have known. nay, he was a literary theorist, a 17th-century man, only a visitor to their haunted land. he had never heard the whistle of the mortars overhead. he had never felt the cold earth under his cheek as he prayed for godās deliverance. and yet he would have broken their fragile peace and brought them all back into the trenches.
my professor sits there for a second, still totally clueless. the panel moderator suddenly stands up in his tweed jacket and yells, with the raw panic of a once-broken man:
WE! DO NOT! TALK ABOUT! THE ORANGUTAN!
Lanjut~ Berikut adalah beberapa ilustrasi dari cerita favorit gw. Monggo~
The Fall of the House of Usher
The Masque of the Red Death
The Cask of Amontillado
Gw juga perhatiin ya, ada lukisan karya Harry Clarke ini yang mengingatkan gw dengan karyanya Etsuko Ikeda di Pengantin Demos (Deimosu no Hanayome).
Perhatiin deh detail dari ilustrasi-ilustrasinya ini. Keren abis.
Buku ini bakal jadi referensi gw banget untuk ilustrasi, dan gw belajar banyak dari sini.
Waktu di Singapura, gw dipinjemin buku sama Budi beserta ucapan, “nih Kap, kamu kan bocahnya Konmari.” (tautan: “Plus dan Minus Konmari” dan “Membuang “Beban”“)
Kalo Konmari itu seperti ilmu turunan dari Zen (karena Marie Kondo dulunya pendeta Zen), A Monk’s Guide ini bener-bener ditulis oleh pendeta Zen Buddhist yang masih aktif. Shoukei Matsumoto, menurut biografi sekilas di bukunya, adalah biksu Buddha di kuil Komyoji, Tokyo.
Gw pecinta konsep Konmari —Ā there, I said it.
Tapi gw harus jujur juga, kalo lu dateng atau ngelihat rumah gw, kesan yang ada itu jauh dari kesan Konmari yang, apa ya… Minimalis (?) Sepertinya kalo abis baca buku Konmari itu, rumah bakal minimalis banget kan ya? Atau minimal barang-barang kebutuhan dasar dan memento yang memang kita sayang dan bikin hepi.
Mungkin bisa dibilang, gw ini contoh kasus Konmari yang sudah berkeluarga, hahaha. Ada lah sisi plus minusnya untuk mengaplikasikan sistem Konmari di dalam rumah tangga gw, terutama soal barang-barang, ehem, mainan yang menumpuk; tapi gw pribadi sangat suka dengan konsep Konmari: “Does this sparks joy?”
A Monk’s Guide ini satu level di atas Konmari. Bener-bener ngomongin soalĀ basic necessities (kebutuhan dasar) yang memang menurut paham Buddhisme, untuk meninggalkan atau melepaskan diri dari ikatan material duniawi. Barang-barang duniawi yang ada di sekitar lu itu digunakan hanya untuk membantu lu mendapatkan pencerahan dan ketenangan jiwa.
Tapi bukan berarti gaya para biksu Buddha itu macam gaya spartan yang kaku dan saklek-fungsi-doang. Estetika Buddhisme itu muncul lah dalam bentuk Zen; semua indah menuruti apa kata alam. Nggak maksa gitu lho. Kalo dulu suka ngetawain ketika Biksu Tong ngomong “kosong adalah isi, isi adalah kosong,” pas nonton Kera Sakti di Indosiar, pas udah tua gini ya baru paham oh itu maksudnyaaaa, hahaha. Sesuatu yang kayanya “kosong” hah-apaan-ini-gini-doang-tampilannya bisa jadi penuh arti dan bikin jiwa tenang ketimbang huru hara heboh ga ada juntrungnya tapi jiwa kosong.
//ahzeg
//edisi kapkap bijak
Jadi A Monk’s Guide ini bisa dibilang, buat gw, melengkapi metode Konmari. Kalo Konmari itu soal merapikan dan menghilangkan barang-barang yang ga perlu/ga dibutuhkan/malah bikin sedih dari hidup kita (singkatnya, bikin lu ga masuk episode ‘Hoarders’ di channel TLC), A Monk’s Guide ini mengajarkan cara membersihkan dan menjaganya. Jadi ketika rumah udah rapi nih, karena metode Konmari, nah, lihat lah itu rumah rapi sebagaiĀ status quo. “Seharusnya rapi terus seperti ini. Ayo, dijaga.” Masuk lah A Monk’s Guide.
A Monk’s Guide ini obsesinya ke membersihkan/cleaning process itu… keterlaluan obsesifnya. Sebenernya nggak heran — seperti kata Budi, “harus diinget kalo penulisnya ini biksu. Mereka punya gaya hidup dan alur hidup yang berbeda dari kita, orang-orang biasa” — karena ya mereka memang memahami bahwa lingkungan yang bersih dan rapi membuat hati bersih dan rapi juga. Hati yang bersih dan rapi terpancar dari lingkungan yang bersih dan rapi.
Sampe Shoukei Matsumoto berkomentar di bukunya, “ketika memasak, jangan lupa untuk menutup laci atau lemari dapur. Membiarkan laci atau lemari dapur terbuka, menggambarkan hati yang kacau dan nggak tenang.” Itu kaya… Eh lah buset lemari doaaaang gitu kan. Ya bukunya emang begitu isinya. Filosofis.
Seperti Konmari, gw tergila-gila dengan konsep A Monk’s Guide ini.
Proses bersih-bersih/cleaning itu meditasi.Ā Cleaning process is a purgatory process; it’s not mere cleaning to have your place looked nice. Cleaning process is a process to create a place to called home for you to have a good rest and have a calm and happy soul.
I have mild anxiety, so naturally I am crazy about this… calm-yo-ass methods.
Gw udah bilang kan kalo A Monk’s Guide ini rada obsesif?
Di bukunya juga ditulis kalo lebih baik menggunakan peralatan tradisional yang mungkin akan sedikit memakan waktu ketimbang barang-barang modern instan. Argumennya adalah, supaya kita bisa menikmati dan menjalani proses ketimbang buru-buru berharap semua cepet selesai.
Satu sisi gw yang “hell yea!“, satu sisi gw yang “ain’t nobody got time for that.” Jadi memang buku ini musti dibaca dengan… apa ya, memahami kondisi lu sebagai pembaca. Lu harus paham kondisi lu sendiri, gimana situasi lingkungan lu, gimana gaya hidup lu, gimana kondisi emosional dan kejiwaan lu, dan gimana kondisi keuangan lu. Dari situ, coba cari hal-hal yang bisa lu lakukan dan yang lu ga bisa lakukan. Mau totalitas ya monggo, mau nggak ya gapapa. Ini toh bukan kompetisi siapa punya rumah paling bersih sak dunia toh.
Buku ini gw baca langsung kelar sewaktu di Singapura, dan gw pengen beli bukunya, hahaha. Insya Allah cari di Kinokuniya ah. Semoga ada di Kinokuniya Malaysia sini.
Buku ini gw rekomendasikan untuk sesama pecinta metode Konmari dan orang-orang yang mungkin pengen tau metode bersih-bersih yang masuk ke ranah filosofis. Ini macem, hmmmmm, “bersih-bersih secara khusyu” gitu lah, hahaha.