Ada yang familiar dengan metode KonMari?
KonMari adalah metode pengaturan barang (organizing) dan membuang barang-barang yang sudah tidak digunakan lagi (decluttering) yang mempunyai satu prinsip: Does this thing spark joy?
Saya sendiri belum baca bukunya (dan saya penasaran — jadi keliaran di Google membaca berbagai artikel dan review) tapi dari potongan-potongan artikel kanan kiri, KonMari ini menjadi salah satu metode hits dalam membersihkan dan mengatur barang-barang yang ada di sekitar kita. KonMari disusun oleh Marie Kondo yang menggunakan prinsip dari gaya hidup orang Jepang untuk menjaga rumah tetap rapi dengan pendekatan minimalis. Salah satu blogger favorit saya, Jenny, menggunakan metode KonMari untuk mengatur isi rumahnya — dan saya akui, rumahnya tampak bersih, rapi, dan menyenangkan.
Saya sendiri sebagai ibu rumah tangga suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan rumah yang rapi, hahaha. Hanya secara pribadi saya kurang yakin apakah KonMari ini cocok untuk rumah dengan anak balita/anak-anak. Teman saya, Dian Ara, pernah komentar, “tanteku pernah ngasih tau: kalo anak masih di bawah 6 tahun, rumah berantakan itu masih bisa dimaafkan. Ketika anak sudah berumur 6 tahun ke atas, seharusnya rumah sudah bisa rapi karena anak sudah paham untuk membereskan mainannya sendiri dan bahkan membantu pekerjaan rumah — terutama membereskan barang-barang.”
Dan sejauh ini, itu yang saya pegang. Saya sendiri nggak ada metode khusus untuk membereskan dan membersihkan rumah, tapi saya menggunakan jadwal untuk membersihkan rumah (misal, hari Senin membersihkan kamar mandi, hari Selasa mengelap mebel, dan seterusnya.)
Kembali ke metode KonMari.
Dari yang saya baca, saya sendiri banyak menyetujui prinsip dari KonMari; dan prinsip utama metode ini — apakah benda ini membuat saya senang? — saya aplikasikan sejak setahun pertama saya dan Ari menikah.
Penyebab utamanya adalah karena kami berdua sering sekali pindah rumah. Saya pernah bercanda ke Ari bahwa kami tidak pernah tinggal di sebuah rumah selama lebih dari satu tahun. Satu tahun pertama pernikahan tinggal di Depok, lalu setahun berikutnya tinggal di rumah kontrakan di BSD, dan setahun berikutnya pindah ke rumah yang telah dibeli di BSD. Rumah yang kami kira akan ditempati bertahun-tahun ternyata harus kami tinggalkan setahun berikutnya (lagi!) untuk pindah ke Kuala Lumpur, Malaysia.
Proses pindah rumah berkali-kali itu lah yang membuat saya lebih “mudah” melepaskan barang. Setiap saya membereskan barang, saya akan berpikir, “apakah barang ini membuat saya hepi? Membuat saya jadi lebih baik? Masih berguna? Membuat kondisi rumah dan keluarga jadi lebih baik?” Kenapa? Yakali tiap pindahan barang-barang bawaan selalu bertumpuk dua kali lipat.
Jebakan yang sering ada dalam proses “membuang” itu biasanya ada dua:
- “Aduh, itu kan harganya mahal!” (biasanya di produk kecantikan/make-up)
- “Aduh, itu kan penuh kenangan!”
Untuk produk kecantikan yang harganya mahal… Nah, ini yang sekarang saya jadikan tolak pikiran: “Begitu produk itu saya beli, produk itu otomatis sudah ‘terbuang’. The goods I bought are immediately consumed and decreased in value — or even lost its value — right when I paid for it.” Begitu *srek* kartu debit digesek dan produk dibayar, sebenarnya produk itu langsung kehilangan nilai materialnya. Bisa langsung dianggap “habis”/”terbuang”. Depresiasi. Jadi ketika produk itu ternyata malah lebih sering membuat saya frustrasi (ternyata masker malam yang dibeli nggak cocok dengan kulit, dan lain-lain) jadi ya lebih baik saya singkirkan. Bisa saya berikan ke teman atau keluarga yang mungkin lebih cocok, atau kalau ternyata sudah kadaluarsa (ya, produk kecantikan juga mempunyai masa kadaluarsa) ya saya buang.
Dan pendekatan itu akhirnya mendidik saya untuk lebih perhatian dengan kondisi kulit saya sendiri — alias nggak asal beli produk yang klaimnya macam-macam. Saya tetap bisa membeli produk kecantikan, namun saya bisa memastikan bahwa produk itu memang cocok untuk saya dan membuat saya menjadi lebih baik. Proses ini juga menjadi terapi ke saya. Setiap saya melihat satu produk make-up yang saya punya dan saya nggak suka, saya suka berpikir, “lah ini kenapa gw beli ya…?” Di situ saya sadar; kalau saya terlalu lama berdiam di rumah, biasanya saya bosan dan stres. Kalau saya bosan dan stres, saya PASTI membeli produk make-up (misalnya, lipstick atau eyeshadow) terlepas saya butuh atau nggak. Impulsif. Jadi dari situ saya berusaha mengenali tanda-tanda ketika saya mulai bosan dan mencari cara untuk mengalihkan energi saya supaya nggak numpuk di badan dan berujung stres. Bisa dengan cara jalan-jalan di taman (sekalian memenuhi target 10,000 langkah per hari) atau melanjutkan membaca buku.
Untuk barang-barang yang penuh kenangan…
Nah ini.
Di sini saya juga setuju dengan Marie Kondo bahwa proses bersih-bersih dan membuang barang-barang yang tidak digunakan itu sebenarnya adalah proses yang sangat pribadi dan sebaiknya nggak ada campur tangan dari orang lain, apalagi keluarga.
Saya punya banyak barang yang “diturunkan” ke saya karena “barang ini dulunya punya eyang/tante/bude/sodara yang saya bahkan nggak tau namanya dan mukanya/sudah ada di keluarga selama puluhan tahun.”
Panggil saya cewek materialistis, tapi kebanyakan barang kenangan yang saya punya itu tidak mempunyai nilai yang tinggi (bukan berlian atau emas murni *uhuk* Dan untuk perhiasan pun saya pilih-pilih — untuk aksesoris, saya malah lebih senang aksesoris nuansa kayu atau batu. Saya benci setengah mati dengan perhiasan logam karena buat saya emas atau perak yang digunakan sudah nggak murni. Lebih baik saya minta berlian murni atau emas murni dalam bentuk batangan, hoahahahaha~) Lebih sering pakaian yang nyaris sobek karena kainnya rapuh puluhan tahun disimpan di lemari dan bahkan nggak muat dipakai saya atau malah membuat umur saya bertambah 150 abad ketika saya pakai.
Kalau saya bilang ke si pemberi bahwa saya akan mendonasikan pakaian-pakaian itu, bisa kena amuk massa saya. Jadi apa yang saya lakukan? Ya saya nggak bilang. Kalau ditanya? Ya baru saya bilang. Atau ya yang biasanya terjadi sih… Udah pada lupa juga.
Satu lagi barang-barang “penuh kenangan”. Buku harian dan foto mantan! Hahahahaha.
Apakah benda-benda itu memberikan perasaan senang?
OH HELL, NO.
Yang ada perasaan macem perut ditonjok lalu keinget memori yang nggak enak lalu akhirnya berujung memaki diri sendiri kenapa saat itu begitu bodoh.
Masukkan kardus, tutup dengan lakban, buang. Selesai.
Atau kalo punya barang-barang dari mantan, ya bisa dibuang atau dijual atau dikasih. Seinget saya pernah ada semacam garage sale barang mantan di Jakarta, hahaha. Tagline-nya “duitin kenangan pahit lu!”
Bukan berarti ini saya nyuruh “HAYO BUANG SEMUA BARANG KENANGAN!” Sekali lagi, pilah dan pilih barang yang kita miliki. Ada kenangan dari almarhumah eyang berupa foto saat liburan dan merupakan kenangan manis, bisa kita simpan. Ada perangko langka dari buyut yang kita miliki bisa kita simpan (bisa menjadi barang bersejarah dan kalau harganya tinggi bisa dijual! *eh*) Pastikan bahwa barang-barang yang kita miliki, tua ataupun baru, memberikan manfaat dan membuat kita merasa dan menjadi lebih baik. Jangan jadikan barang-barang yang kita miliki menjadi semacam rantai dan bola beban takkasatmata yang menahan kita menjadi manusia yang lebih baik.
Bagaimana dengan koleksi (ini saya sebut karena saya sendiri mengakui Ari mengoleksi produk Star Wars dan Lego)? Sekal lagi, apakah itu membuat diri pribadi senang? Apabila iya, ya nggak apa-apa. Nggak ada yang salah dengan mengoleksi barang-barang kesukaan/hobi.
Ujungnya, membuang barang-barang yang nggak membuat kita bahagia adalah salah satu proses kita menjadi pribadi yang lebih tenang dan, yah, bahagia. Membuat kita sadar bahwa kita mempunyai begitu banyak barang dan mengetahui bahwa kebiasaan konsumsi kita bisa diatur lebih baik dan bijaksana.
3 responses to “Membuang “Beban””
Buku dan majalah, itu tumpukan aku yg cukup parah… (Baca: banyak). Mau dibuang kadang mikir, ini bacaan bagus yg ntar-ntar bisa kubaca lagi, atau isinya penting buatku. Tapi apakah beneran kubaca lagiiiii??? Hahahahahaha… Ketawa aja dulu deh!
Nah itu! ? Makanya di Konmari ada urutan beberesnya, teh. Dari pakaian sampe memento. Untuk buku dan majalah kalo ga salah ada sebelum memento karena emang berat hati buangnya ?
[…] Waktu di Singapura, gw dipinjemin buku sama Budi beserta ucapan, “nih Kap, kamu kan bocahnya Konmari.” (tautan: “Plus dan Minus Konmari” dan “Membuang “Beban”“) […]