Liburan (dan Penyembuhan)


Seminggu lebih saya nggak nulis di sini. Salah satu penyebab utamanya itu ketika saya sakit radang tenggorokan dan bronchitis beberapa minggu lalu — dan perjalanan saya mudik ke Indonesia selama seminggu.

Bisa dibilang kombinasi radang tenggorokan dan bronchitis kemarin itu cukup… Apa ya, “menghantam” saya (?) *agak lebay, saya tau…* Saat diperiksa dokter dan dikonfirmasikan bahwa dahak saya berwarna hijau yang artinya ada bakteri terlibat dalam bronchitis saya, dokter memberikan saya resep antibiotik.

Sama seperti antibiotik lainnya, kadang antibiotik itu nggak pandang bulu dalam menghantam bakteri dalam badan. Untuk kasus saya, sepertinya bakteri perut (gut bacteria) saya yang berfungsi menjaga usus juga ikut terkena. Jadi bisa dibilang pemulihan saya saat itu agak lamban dan menyebalkan — terutamanya karena saya nggak bernafsu makan sama sekali. Rasanya seperti lingkaran setan: masa pemulihan — perlu asupan nutrisi dari makanan — tapi badan nggak mempunyai nafsu makan — masa pemulihan jauh lebih lama.

Konsumsi Yakult cukup menolong, tapi belum cukup — akibat nafsu makan berkurang, asam lambung bertingkah dan membuat saya menjadi mual terus-terusan. Jujur saja, saat itu saya ragu-ragu apakah kesehatan saya bisa bertahan ketika mudik ke Indonesia minggu depannya.

Saya lega bahwa ternyata mudik ke tanah air menyembuhkan saya, hahaha. Di Depok, makan siang kami adalah pecak gurame dan es soda gembira. Setelah itu, nafsu makan saya kembali normal. Banyak makanan Indonesia yang saya sudah kangen sekali bisa saya konsumsi dengan baik dan bahagia. Awalnya Ari pun khawatir akan kesehatan saya dan Wira saat mudik; namun Alhamdulillah baik saya maupun Wira nggak bermasalah dari segi kesehatan dan tetap sehat walaupun Indonesia sedang musim hujan — dan jauh lebih dingin dibandingkan Kuala Lumpur!

Untitled

Saya juga baru sadar betapa besar pengaruh Belanda dalam dunia kuliner Indonesia. Terlihat jelas saat kami berkunjung ke Bandung, dan dengan mudahnya kami menemukan poffertjes, bitterballen, kroket, dan meisjes.

Untitled

Poffertjes adalah salah satu makanan pencuci mulut kesukaan saya. Mungkin makanan ini sendiri mendapatkan ‘variasi’ lokal dalam bentuk dan nama “kue cubit”. Kue cubit ini juga populer sebagai jajanan pinggir jalan di Jakarta dan Bandung, dan paling enak adalah kue cubit yang adonannya masih setengah matang, hahaha.

Banyak hal-hal menyenangkan yang kami temukan saat berlibur di Indonesia (tepatnya, rute Jakarta – Purwokerto – Kroya – Bandung – Jakarta). Salah satu hal yang memang dan akan selalu berkesan di kami adalah betapa ramahnya orang Indonesia dan… Apa ya, ada semacam kesederhanaan yang tulus dan menyenangkan dari orang Indonesia di kota-kota kecil.

Ini adalah taman bacaan untuk publik di stasiun KA Kroya. Menyenangkan sekali melihat hal seperti ini ada dan didukung oleh instansi setempat agar warga selalu mempunyai minat baca; dan tentu saja, bisa mengisi waktu sambil menunggu kereta, hahaha.

Untitled

Saat di Bandung, kami menyempatkan diri untuk mampir ke kampus ITB — kampusnya Ari — untuk berjalan-jalan. Di depan kampus ITB, ada penjaja susu dan yogurt kakilima bernama ‘Yoghurt Ganesha’. Nama “Ganesha” diambil dari nama maskot kampus ITB yang berupa Dewa Ganesha; berkepala gajah dan berbadan manusia. Melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Maskot yang tepat untuk institusi teknologi tertua di Indonesia.

Untitled

Yogurt dan susu yang dijual beraneka rasa. Dari rasa plain, strawberry, coklat, sampai mocha dan anggur.

Salah satu highlight perjalanan kami selama di Indonesia adalah perjalanan menggunakan kereta api. Ari memutuskan untuk tidak menyetir kendaraan pribadi dari Jakarta ke Purwokerto dan Bandung. Saya juga setuju. Terlalu melelahkan.

Wira sangat senang selama perjalanan — apalagi dia saat ini sedang tergila-gila dengan kartun animasi Thomas the Tank Engine, hahaha.

Untitled

Senang sekali rasanya bisa berlibur di tanah air, walau hanya untuk seminggu. Apalagi ternyata liburan itu lah yang menyembuhkan saya dan mengembalikan nafsu makan saya, hahaha (teman saya berkomentar, “kangen makanan Indonesia. Itu obatnya tuh: makanan Indonesia, hahaha“)

Mungkin memang di makanannya, mungkin di udaranya, mungkin di tanahnya, mungkin di… Indonesianya.

Orang bisa dengan mudah ‘menuduh’ saya karena menjadi sentimentil kepada Indonesia hanya karena saya menghabiskan waktu 2 tahun di Malaysia.

Mungkin ya, mungkin nggak.

Karena jujur saja, ketika kami kembali ke KLIA, saya berkomentar, “akhirnya kembali ke negara yang orang-orangnya bisa mengantri” (BTW, silakan marah sih kalo merasa tersinggung ke saya). Apalagi akhir-akhir ini saya membaca banyak artikel berita mengenai Indonesia yang membuat saya memejamkan mata dan bertanya-tanya apa yang salah dengan negara saya. Entah karma buruk, entah murni bodoh semata, entah anggota dewan gila kuasa, entah apa.

(Tapi jujur ya, saya lebih kaget lagi membaca bagaimana Donald Trump memenangkan pemilihan umum sementara di Carolina Selatan. SERIOUSLY? ARE YOU FREAKING KIDDING ME? SERIOUSLY, SOUTH CAROLINA? SERIOUSLY? Ini bukan karena ada satu orang yang komentar, “LOL kita coba pilih Donald Trump yok. BIAR RAME” kan?)

Tetapi ketika saya membuka mata, dan jika saja saya ditanya, “apakah kamu mencintai Indonesia?” saya bisa dengan mantap menjawab, “ya. Saya mencintai Indonesia.” Dan itu bukan hanya karena saya lahir dan besar di tanah itu. Saya masih mempunyai kepercayaan bahwa Indonesia bisa dan memang patut dicintai dan dijaga. Hal yang saya tuliskan di atas, mengenai “keramahan dan kesederhanaan yang tulus”? Ya, saya serius soal itu. Soal mengantri, oke, saya harus adil; makin banyak orang di Indonesia yang sadar akan budaya mengantri dan mulai berani menegur yang pecicilan dan nggak mau mengantri. It’s a good start.

Mungkin hal itu tidak banyak di Jakarta (dear pengendara Lamborghini dan Ferrari yang mengebut di jalan tol dalam kota yang ramai, semoga kalian terkena wasir dan nggak bisa disembuhkan bahkan dengan Daflon dan Ponstan sekalipun. Amin), tetapi di kota-kota seperti Kroya dan Purwokerto? Warganya hidup dan bernafas dengan itu. Bahkan saya kangen dengan Yogyakarta dan Solo (ya Tuhan, kapan saya terakhir kali ke Solo? KELAS 2 SD!)

Insya Allah, sampai bertemu di lain waktu ya tanah airku.