Mudik! Jakarta – Bandung – Purwokerto (17-25 September 2015)


Akhirnya baru sempet saya nulis soal perjalanan mudik ke Indonesia minggu lalu. Beberapa hari ini mengumpulkan energi dahulu, hahaha.

Jadi perjalanan dimulai pada tanggal 17 September 2015 malam. Kamis malam, tepatnya. Kami menggunakan maskapai KLM karena pertimbangan harga. Rute KLM sebenarnya AMS (Amsterdam) – CGK (Jakarta), dengan KUL (Kuala Lumpur) sebagai transit. Karena rute transit itulah, harga tiket lumayan murah dan nggak banyak berubah. Nggak seperti maskapai budget yang harganya murah CUMA tiketnya aja, tapi ada biaya lain-lain di belakangnya. Apalagi kalo musim liburan harga tiket naik berkali-kali lipat. Beneran lho, harga tiket KLM jauh lebih murah. Sudah dapat in-flight entertainment dan makan.

Plus, yang budget suka delay *uhuk*

Tapi ya kalau untuk penerbangan domestik/dalam negeri, menggunakan maskapai budget jauh lebih murah dan hemat. Kalau penerbangan internasional, baru lah mungkin maskapai besar yang rute transit bisa dijadikan rujukan.

Kami berangkat ke airport menggunakan ERL (Express Rail Link), kereta cepat yang menghubungkan pusat kota Kuala Lumpur (KL Sentral) dengan airport KLIA dan KLIA2. Ada dua jenis ERL: ERL Express (dari KL Sentral langsung ke KLIA dan KLIA2) dan ERL Transit (berhenti di beberapa kota satelit di luar Kuala Lumpur: Putrajaya, Cyberjaya, dan lain-lain.)

Indonesia Trip {September 2015}

Indonesia Trip {September 2015}

Khusus untuk maskapai Malaysia Airlines (MAS), disediakan kounter baggage check-in di KL Sentral sehingga penumpang Malaysia Airlines udah nggak perlu lagi gotong-gotong koper bawaan ke airport.

Indonesia Trip {September 2015}

Indonesia Trip {September 2015}

Sesampainya di Jakarta, kami menginap semalam lalu berangkat menuju Bandung menggunakan mobil.

Di Bandung, suami menghadiri acara reuni jurusannya — Teknik Kimia ’98 ITB. Saya sudah kenal beberapa dari teman kuliahnya, sehingga bisa nyaman saja mengobrol dengan peserta reuni lain dan keluarga mereka.

Indonesia Trip {September 2015}

Sedikit cerita lucu soal Teknik Kimia ini; sewaktu saya masih SMU, sekolah saya mengadakan darmawisata ke Bandung, dan ITB adalah salah satu tujuan. Karena nggak ada koordinasi antara pihak sekolah saya dengan ITB (lhah…) jadi kami di ITB juga hanya duduk-duduk saja di depan perpustakaan dekat pintu masuk.

Sebelah perpustakaan itu, ada papan bertuliskan ‘TEKNIK KIMIA’ besar-besar. Menandakan gedung jurusan.

Sewaktu SMU, saya itu sangat payah untuk mata pelajaran sains dan matematika (yang ironisnya, saya dulu jurusan IPA di SMU) kecuali dua: Biologi dan Kimia.

Melihat papan jurusan ‘TEKNIK KIMIA’ seperti itu, tentu saja saya, errr, sangat bersemangat untuk masuk ke Teknik Kimia ITB.

Tentu saja ayah saya nggak setuju, hahaha. Nilai Matematika dan Fisika saya hancur nggak karuan, kok ya berani-beraninya berpikir untuk masuk ke ITB. Yaaa, sisa ceritanya bisa ditebak: Saya masuk ke Fakultas Ekonomi jurusan Marketing Management di Bina Nusantara.

Tapi seperti yang saya bilang sebelumnya, hidup itu lucu.

Suami saya adalah alumni Teknik Kimia ITB, hahaha. Bisa dibilang mepet sedikit lah ya.

Indonesia Trip {September 2015}

Selain acara reuni, di Bandung kami juga bertemu dengan beberapa teman baik. Dian Ara dan Ibnu Tri, pasangan gamer dan pengembang game (sayang sekali saya lupa foto-foto. Aduh, kebangetan banget deh saya…) dan keluarga The Babybirds — Iing, Nyanya, dan Melon.

Indonesia Trip {September 2015}

Kami diajak makan kupat tahu di jalan Gempol. Nyanya berkomentar bahwa jalan Gempol ini dulunya nggak terlalu rame. Nggak banyak orang yang tahu, malah. “Tapi karena makin banyak orang pake social media, nyebar juga info soal kupat tahu sama roti bakar enak di sini,” kata Nyanya. “Cukup membantu juga sih ya, untuk warga sekitar yang berjualan makanan.”

Indonesia Trip {September 2015}

Kami juga berkunjung ke roti bakar Gempol yang lokasinya nggak jauh dari situ. Malah melewati gang kecil menembus rumah-rumah warga.

Untitled

Kadang saya penasaran, apakah suatu tempat yang menjadi populer dan ramai dikunjungi banyak orang itu membawa lebih banyak manfaat untuk warga sekitar? Saya teringat Pasar Santa di Jakarta — bagaimana pasar tersebut, dulunya kumuh dan mayoritas menengah ke bawah, menjadi salah satu tujuan utama warga kelas menengah ke atas dan hipster Jakarta, terima kasih kepada anak-anak muda pengusaha baru yang berbisnis di Pasar Santa. Namun selalu ada sisi lain dari “membangun kembali sebuah tempat kumuh”, dan isu itu bernama gentrifikasi. Dan itulah yang terjadi di Pasar Santa baru-baru ini. Dari harga sewa kios yang sangat murah (dan itu mungkin sebabnya Pasar Santa menjadi tujuan para pengusaha muda untuk berdagang), dikarenakan popularitasnya yang melejit cepat, mendadak pemilik kios menaikkan harga sewanya gila-gilaan sampai ke taraf bahkan anak-anak muda yang mempunyai uang pun tidak mampu membayarnya lagi. Akibatnya? Banyak kios yang tutup. Bagaimana dengan pedagang yang sejak awal sudah berada di sana? Mereka juga tidak mampu menyewa, karena harga sewa sudah kadung terlalu mahal. Secara singkat, Pasar Santa itu “mati” di tangan penggunanya sendiri. Cukup ironis.

Saya berharap jalan Gempol tidak menghadapi nasib yang sama dengan Pasar Santa. Sejauh yang saya lihat kemarin (hanya 1-2 jam juga sih…) pedagang yang berjualan juga pedagang daerah jalan Gempol/warga sekitar. Paling tidak harapan itu masih ada.

Untitled

Untitled

Roti bakar jalan Gempol ini kabarnya legendaris. Sudah lama berdiri, dan mereka membuat roti mereka sendiri. Begitu masuk toko, wangi roti baru dipanggang meruak bersamaan dengan seorang staf toko membawa loyang-loyang berisikan roti yang masih hangat. Sayang sekali saudara-saudara, kami baru saja makan kupat tahu dan masih kekenyangan. Akhirnya harus cukup puas membeli donat gula pasir untuk takeaway.

Indonesia Trip {September 2015}

Kami juga berkunjung ke Lily Patisserie untuk membeli cheesecake oleh-oleh keluarga saya di Purwokerto. Lily Patisserie ini berkesan sekali ke saya karena saya mencari toko kue ini selama tujuh tahun. Bisa dibayangkan betapa gembiranya saya ketika saya melihat jajaran kotak-kotak kue berisikan cheesecake yang saya idam-idamkan selama ini.

Indonesia Trip {September 2015}

Untitled

Bandung adalah salah satu dari sekian banyak kota kuliner di Indonesia, dan tentu saja kami mengisi perut kami dengan berbagai macam makanan khas Indonesia yang tidak bisa didapatkan di Kuala Lumpur (kalaupun bisa, lumayan susah mencarinya.) Salah satu yang cukup terkenal di Bandung adalah yamien Toko You. Yamien adalah mie telur tipis (“ala HongKong” menurut banyak orang) yang disajikan dengan kuah kecap. Bisa dimakan dengan kuah ataupun tidak. Rasa yamien cenderung manis gurih dikarenakan kecap manis yang dicampurkan ke saus mie. Untuk beberapa orang, saus yang dicampurkan ke mie kadang terasa terlalu asin, sehingga kuah dicampurkan sedikit untuk menetralkan rasa asin di mie.

Indonesia Trip {September 2015}

Selain yamien, kami juga menikmati tahu gejrot — tahu pong goreng yang disajikan dengan kuah cuka, kecap, cabe rawit dan bawang. Biasanya saya memakan tahu gejrot seperti “menyendok”. Karena tekstur tahu yang berlubang-lubang, saya suka menyendokkan kuah cukanya ke dalam tahu. Dengan sigap tahu sudah harus masuk mulut supaya cuka di tahu tidak menetes kemana-mana; dan begitu gigi menggigit tahu, rasanya terjadi ledakan kuah cuka penuh rasa di dalam mulut.

Indonesia Trip {September 2015}

Sama seperti beberapa restoran klasik di Bandung, Toko You juga telah berdiri sejak tahun 1970-an. Selain makanan, variasi minuman di restoran ini juga cukup beragam — dari minuman dingin, hangat, sampai jamu.

Indonesia Trip {September 2015}

Indonesia Trip {September 2015}

Dari Bandung, kami menuju Purwokerto — dan tidak lupa berhenti di Cirebon untuk makan siang. Makan siang di Cirebon saat mudik kemarin adalah pertama kalinya kami mencoba nasi jamblang. Sebenarnya sama seperti nasi lain berupa nasi putih yang dihidangkan dengan lauk pauk dan sambal, namun nasi jamblang ini menarik karena dimasak menggunakan daun jati (yang sangat mudah ditemukan di area Cirebon dan sekitarnya). Tidak ada bau khas dari nasi, namun nasi yang dihidangkan luar biasa lembut dan putih. Sambal yang disajikan juga cukup menarik karena berasa sedikit asam — namun bukan asam dari jeruk nipis. Mungkin dari asam Jawa ya? Disajikan dengan pilihan lauk dan gorengan, saya memilih lauk paru goreng, telur dadar, dan udang goreng tepung. Paru goreng digoreng renyah dengan rasa gurih yang merebak di mulut saat paru digigit, dimakan dengan nasi putih hangat, dan minum es teh tawar. Nikmat Allah SWT yang mana yang kamu dustakan, hehehe.

Indonesia Trip {September 2015}

Kami dua kali makan siang di Cirebon: saat perjalanan menuju Purwokerto dan perjalanan dari Purwokerto. Kali kedua kami makan di Cirebon, kami menikmati empal gentong dan sate kambing. Sungguh lezat menikmati empal gentong yang gurih dan berbumbu penuh jeroan kambing muda dan sate kambing yang masih berlemak dengan bau asap bakaran sate menguar. Rasa empal gentong itu mirip gulai, hanya saja untuk empal gentong tidak menggunakan santan sehingga terasa lebih ‘ringan’ dibandingkan gulai (lebih mirip gulai ala Jawa dibandingkan gulai ala Sumatera). Untuk sate kambing… Sudahlah. Sate kambing muda yang masih hangat dengan siraman kecap manis dan dibumbui sambal ulek dan cabe rawit? Memakan sate kambing dengan berhati-hati agar kecap yang gurih tidak menetes secara tiba-tiba ke pakaian? — untung makan seperti ini jarang-jarang, hahaha. Saya nggak kebayang kolesterol dan tekanan darah nantinya.

Indonesia Trip {September 2015}

Indonesia Trip {September 2015}

Di Purwokerto, kami hanya berjalan-jalan ke Baturaden dikarenakan kondisi kesehatan ayah saya yang sedang menurun. Di Baturaden, kami menikmati pecel, sate ayam, sate kelinci, dan tempe goreng mendoan di dalam objek wisata Baturaden.

Indonesia Trip {September 2015}

Ibu Penjual Pecel di Baturaden, Purwokerto

Saya meminta mbok penjual pecel untuk menambahkan honje/kecombrang di pecel saya. Saat digigit, honje mengeluarkan aroma wangi yang tajam dan berbau sitrus. Bumbu kacang yang masih kasar memberikan tambahan tekstur di pecel, dan rasa pedas dari cabe rawit yang ikut diulek dipadamkan dengan kopi susu hangat. Dan karena kalo makan pecel ataupun gado-gado saya HARUS pake lontong, lontong yang disajikan itu lembut dan empuk. Rasanya lumer di lidah, berpadu dengan sayuran, wanginya kecombrang, dan gurihnya bumbu kacang.

Mendoan sendiri adalah makanan khas Jawa Tengah. Asalnya dari kata mendo yang artinya belum matang/setengah matang. Mendoan adalah tempe yang belum terfermentasi sempurna, dicelupkan ke dalam adonan tepung, telur, kunyit, dan daun bawang, lalu digoreng. Mendoan biasanya jarang digoreng garing renyah, melainkan sedikit berminyak dan tekstur adonannya kenyal. Rasanya gurih dari kunyit, dan bisa dimakan sebagai lauk ataupun cemilan. Dimakan dengan cabe rawit sambil meminum teh manis panas? Sekali lagi, nikmat Allah SWT yang mana yang kamu dustakan?

Indonesia Trip {September 2015}

Indonesia Trip {September 2015}

Omong-omong, ini kok isinya makanan semua? Ya mau gimana, namanya juga anak ilang rantau di negeri seberang; begitu mudik ke Indonesia tumpah darahku ragaku jiwaku, ya gimana nggak kalap ngeliat makanan yang sudah sangat familiar di lidah, ya nggak?

Ah, Indonesia. Jauh di mata, dekat di hati. Sampai bertemu lagi!

Untuk foto-foto saat mudik, bisa dilihat selengkapnya di sini.