Baru sadar kalo saya lama nggak nulis di sini.
Jadi nostalgia (halah) kalo jaman awal nge-blog itu semuanya ditulis. Apa aja ditulis. Cerita di kuliah, kegiatan klub, sampe curhat ga jelas sendiri. Kadang sehari bisa nulis sampe 2-3 entri, hahaha.
Mungkin karena saat itu kegiatan memang masih banyak-banyaknya ya π Sedangkan saat ini saya sudah jadi ibu rumah tangga, jadi ya tergolong biasa-biasa saja hidupnya, hehe. Mau bercerita soal Kuala Lumpur juga sebenarnya nggak banyak karena saya jarang sekali jalan-jalan. Paling-paling ke KLCC saja. Nggak berani berjalan-jalan yang terlalu jauh karena Wira biasanya sudah ngantuk jam 1-2 siang. Masalahnya gendong-gendong dia itu sambil naik LRT atau bis itu lho, hahaha. Mungkin ketika dia sudah berumur 3 tahun dan sedikit lebih besar, bisa berjalan-jalan π
Ngomong-ngomong Kuala Lumpur, saya agak kangen dengan sate Indonesia. Sate di Malaysia ini biasanya sudah direndam dalam bumbu (marinated) baru dibakar/dipanggang. Sedangkan sate Indonesia kan masih daging mentah, diolesi bumbu kecap, lalu dibakar. Rasa “mentah”nya masih ada, begitu lho π Bukan mentah juga sih ya, hahaha. Tapi masih terasa rasa dagingnya.
Saya juga sampe sekarang belum pernah lho kesampaian makan sate klathak khas Jogja itu. Selama ini saya kalo denger nama “sate klathak” itu selalu ngerasanya kalo makan sate-nya itu bunyi “klathak-klathak” di mulut, hahaha. Sebenernya nggak sama sekali. Sate klathak biasanya menggunakan jeruji besi ban sepeda — sedangkan sate biasanya menggunakan tusuk lidi/bambu — dan (katanya sih) bumbunya pake bumbu gule. Mengingat kuliner Jogja yang sedap, kayanya enak sekali itu π
Makanan di Malaysia ini nggak menggunakan terlalu banyak garam ataupun gula. Apalagi gula deh. Kalo garam, masih ada rasa asin dan gurih, terutama di makanan India. Tetapi untuk makanan kalengan/makanan instan, yang namanya MSG dan gula sudah dikurangi bahkan nggak ada sama sekali. Untuk sereal Nestle seperti Koko Krunch aja ga terlalu manis dibandingkan Indonesia.
Tapi bukan berarti orang Malaysia nggak suka manis. Dosen saya pernah bercerita; saat beliau masih menjabat di Nestle, para eksekutif Nestle mengadakan meeting dan salah satu hal yang dibahas adalah pertanyaan “kenapa penjualan Milo di Malaysia sangat tinggi?” Kabarnya sih, penjualan Milo di Malaysia itu paling tinggi sedunia. Itu kira-kira tahun 1990-an. Entah kalau sekarang ya. Nah, melihat dari berbagai menu yang biasanya ada di mamak/kopitiam (cafe), sepertinya sih ketauan kenapa penjualan Milo sangat tinggi di Malaysia, hehe. Soalnya mereka punya minuman khas yang namanya Milo Dinosaurus. Seingat saya, beberapa kopitiam di Jakarta juga punya menu Milo Dinosaurus. Cobain deh. Dan Milo Dinosaurus itu memang kaya Milo on steroid. Udah ya satu gelas gede Milo dingin, ditaburi Milo bubuk pula. Kadang dikasih es krim Milo atau krim. Kalo minum Milo Dinosaurus, jauh-jauh dari timbangan, haha.
Selain minuman, orang Malaysia juga SANGAT SUKA snack — terutama yang ada durian. Saya rasa ini khas negara-negara di Asia Tenggara (kecuali Singapura, hahaha) bahwa orang-orangnya sangat suka durian. Dulu saya pernah nonton acara TV Fear Factor saat para kontestannya harus makan durian. Saya dan adik saya malah ribut iri setengah mati (“ITU DURIAN BANGKOK ASTAGA YA AMPUN MAU DONG IH UDAH DIKUPASIN TINGGAL DIMAMAM DOANG”) Dan orang Malaysia ga terkecuali. Kalo udah urusan sama durian, cepet habisnya. Pancake durian, es krim durian, dodol durian… Yang biasanya di mall itu dilarang membawa makanan atau benda berbau tajam seperti durian, malah ada counter yang jualan pancake durian, hahaha.
Untuk kuliner Malaysia, biasanya campuran antara kuliner dalam negeri, kuliner India, dan kuliner Cina. Untuk kuliner Cina, biasanya non-halal. Namun saya liat, udah banyak juga restoran Cina yang halal. Yang menarik, mulai masuk juga kuliner Thailand. Biasanya di tempat-tempat makan, walaupun jualan nasi lemak sekalipun, PASTI ADA tom yam. Saya rasa ada hubungannya dengan makin banyaknya imigran dan turis dari Thailand.
Di Malaysia, sangat mudah menemukan restoran India yang cukup otentik. Jujur, restoran India yang bener-bener enak itu rada susah dicari di Jakarta. Saya cuma tau dua tempat: Ganesha ek Sanskriti dan Queen Tandoor. Saya pernah sekali makan roti naan dan chicken tikka masala (kari ayam) di satu tempat di Kemang, dan itu… Mengecewakan π Saya ngomel panjang pendek di Instagram saya. Bukan apa-apa, kebanyakan juru masak Indonesia yang mencoba memasak masakan India cenderung menambahkan terlalu banyak saus tomat (!) dan kurang atau nyaris nggak pake garam masala. Sedangkan di Malaysia ini, karena banyak sekali imigran dan warga keturunan India, sangat mudah menemukan restoran India yang benar-benar enak walaupun di pinggir jalan sekalipun. Minimal menemukan roti naan dan kari π
Ada juga yang namanya kuliner peranakan di Malaysia ini. Biasanya ditemui di kota pusat perdagangan seperti Melaka/Malaka. Kuliner peranakan adalah kuliner gabungan Melayu dengan Cina. Biasanya rasanya gurih dan pedas. Indonesia juga sangat familiar dengan kuliner peranakan karena kami juga mempunyai sejarah yang mirip sebagai pusat perdagangan jaman kolonial.
Ini salah satu kesukaan saya: Tea Ais Tiga Warna (Es Teh Tiga Warna) Sebenarnya sama saja seperti tea ais (es teh — catatan: Kalo memesan minuman es teh di Malaysia, harus spesifik bilang “tea ais kosong” (es teh kosong). Kalo mesennya cuma bilang “tea ais”, otomatis pake susu) cuma di bagian bawah itu adalah gula merah/gula Malaka. Jadi urutan dari atas: Teh, susu, dan gula Malaka. Kadang ada variasi gula Malaka diganti sirup.
Orang Malaysia juga kadang absurd bikin menu. Kedai es krim Swensen’s di sini mempunyai menu es krim nasi lemak. Isinya itu es krim kelapa yang dikasih taburan sambal dan ikan asin (ikan bilis). Jangan tanya ke saya rasanya gimana karena saya sendiri belum pernah coba, hahaha. Masih nggak berani nyobain. Tapi keabsurdan ini cukup saya sukai sih. Artinya mereka bangga dong dengan makanan khas Malaysia, yaitu nasi lemak π
Salah satu makanan favorit saya di Malaysia ini adalah chee cheong fun dengan saus kari ayam. Kadang-kadang disajikan dengan kecap. Selain itu saya juga suka tangyuan — mirip lah dengan wedang ronde, haha. Tapi ini isinya mochi semua dengan kuah susu kedelai dan gula merah.
Ada juga kesukaan saya yaitu foo chok, yaitu kembang tahu π Di foto ini, saya makan mie kari dengan kembang tahu goreng.
Dan ROJAK! Di Indonesia, namanya rujak. Bedanya dengan Indonesia yang biasanya rujak itu rujak buah, rujak di Malaysia itu ada dua jenis: Rujak buah (dan dicampur sotong) atau rujak, er, gorengan. Isinya itu gorengan kue cucur, bakso ikan, kue ikan, dan kue kelapa disiram saus kacang ringan. Saya pengen pasang fotonya di sini, tapi entah kenapa embed URL Instagram ke WP untuk foto yang ini rada ngaco π
Satu hal yang perlu diingat saat mampir ke Malaysia adalah, porsi makanan mereka itu GEDE BANGET. Pernah sekali waktu saya dan Ari makan di restoran, lalu memilih menu gulai ikan dengan pertimbangan “kayanya porsinya ga gede nih. Cuma setengah ikan.” LHO YANG DATENG MALAH SATU IKAN PENUH. Gede banget pula. Pengen protes rasanya, hahaha. “Ini kok porsinya gede banget?! Ga kaya gambar di menu?!” Biasanya orang komplen kalo ukuran sebenarnya lebih kecil, ini kami malah bingung kenapa kok ukuran sebenarnya gede banget.
Ngomongin makanan malah jadi laper… π