Ini topik klasik: Orangtua, anak-anak, dan gadget.
Bahkan sejak tahun 2012, isu gadget ini meningkat tajam — Parents Are Digital Hypocrites, Is Total Gadget Immersion Good or Bad for Kids? [INFOGRAPHIC] — tapi sampe sekarang pun masih gampang dilihat anak-anak yang memegang gadget di tangannya.
Saya, salah satunya.
Wira sudah mengenal gadget dari usia sangat muda. Hitungan bulan, malah. Sejak bayi dia sudah melihat orangtuanya memegang smartphone; bahkan dia baru lahir pun dia difoto dengan smartphone. Ada video saat dia masih 7-8 bulan sedang memegang iPhone.
Beranjak balita, dia lengket dengan iPad. Umur baru mendekati 3 tahun, dia sudah tahu cara mengakses Youtube dan navigasi di dalam aplikasi tersebut. Dia tahu bahwa dia bisa buka tab History untuk melihat video-video yang sudah dia tonton dan menonton ulang.
Digital natives, sebutannya. Anak-anak yang sudah lahir dalam teknologi, dan mahir menggunakannya. Sedangkan generasi orangtuanya biasa disebut digital pioneer dan early adopter. Yang menciptakan ataupun yang menggunakan pertama kali teknologi itu. Generasi saya adalah generasi yang merasakan penggunaan telepon biasa (landlines) sampai penggunaan smartphone. Yang masih merasakan menulis surat dengan kertas dan pena sampai penggunaan e-mail. Kita tahu telegram itu apa, tetapi kita sudah nggak menggunakan telegram lagi.
Sedangkan generasi Wira, mungkin sudah menganggap telepon biasa, telegram, surat, mesin ketik, dan banyak benda analog lainnya sebagai relik prasejarah.
Apakah itu hal yang buruk? Sebenernya nggak. Namanya juga teknologi, selalu berkembang. Dan kita beradaptasi dengan teknologi itu. Dan teknologi juga membantu kita. Jaman dulu berita darurat atau penting nggak bisa disampaikan secara langsung kecuali telepon yang mungkin harus melalui operator manusia. Sekarang, dengan mudah bisa disebar melalui social media di jaringan Internet.
Kembali soal Wira.
Saya jujur mengakui, saya sempat tidak memberikan jadwal bermain iPad ke dia. Kapanpun dia ingin, dia tinggal mengambil iPad di meja. Bahkan sering terlontar dari mulut saya, “Wira main iPad aja ya?” saat saya sedang harus melakukan kegiatan lain seperti memasak atau mencuci, atau ketika saya sedang ingin browsing Internet tanpa diganggu. iPad menjadi digital nanny Wira.
Namun ada satu hal yang saya sangat tegas dalam aktifitas iPad dan Wira: Konten. Wira hanya boleh dan hanya bisa mengakses konten anak-anak — dan jujur saya cukup bersyukur pihak Google dan Youtube punya terms of service (ToS) yang tegas soal itu; walaupun memang tidak semuanya aman untuk anak-anak. Saya tetap memonitor aktifitas video dia melalui tab History. Saya terang-terangan bilang, “tidak, ini bukan untuk Wira tonton saat ini,” saat dia menonton video yang tidak sesuai dengan umurnya.
Dan jujur, saat itu saya berpuas hati. Saya kira saya sudah menjadi “orangtua yang baik”.
Sampai kemarin saat saya mengobrol dengan guru sekolah Wira soal minatnya Wira.
Saya mengamati bahwa Wira menyukai musik dan gymnastic, sementara dia kurang suka menggambar. Awalnya saya mengira karena menggambar mengharuskan dia untuk duduk lama dan tidak bergerak. Gurunya mengkonfirmasikan hal itu.
“Wira suka sekali musik, gymnastic, dan story-telling. Dia sangat semangat ketika dia tahu sesuatu dan ingin menunjukkannya. Tetapi untuk menggambar, dia kurang suka; dan motorik jarinya dalam menggambar dan memegang krayon agak lemah.”
Saya terdiam.
Saya mengulangi ucapan gurunya Wira ke Ari. Lalu Ari terdiam beberapa saat.
“Dia terlalu banyak bermain iPad,” ucap Ari.
Yang mengiyakan apa yang ada di dalam kepala saya.
Semalam, kami berdua langsung membuat jadwal iPad. Wira kami ajak duduk bersama dan kami jelaskan mengenai jadwal baru iPad dan kenapa.
Kenapa? Dia kurang melakukan kegiatan yang melatih fisik dia.
Kenapa? Bahwa dia bisa berimajinasi dan bermain sendiri tanpa bantuan gadget.
Kenapa? Dia memang bisa mengetahui dunia yang luas melalui Internet, namun dia juga perlu mengetahui dunia sekitarnya. Dia harus bereksplorasi.
Break out the crayons, LEGO, bubbles, balls, and the toys.
iPad hanya boleh digunakan dengan pengawasan orangtua dan 15 menit sebelum tidur — dan sudah dipasang timer untuk itu. Begitu timer berbunyi, tanda iPad harus dimatikan dan saatnya tidur. Ada alternatif lain selain iPad: Buku cerita.
Selain itu, tidak ada iPad.
Bosan? Main LEGO. Tidur-tiduran. Main mobil-mobilan. Menggambar. Menari. Bernyanyi.
Dan ini melatih saya juga untuk tidak terpaku di depan smartphone saya. Ini juga mungkin ya, yang membuat saya ingin mengaktifkan blog saya kembali dan mundur sejenak dari social media. Menulis blog jauh lebih nyaman menggunakan laptop. Walaupun menggunakan laptop tetap bisa mengakses social media, tapi entah kenapa keinginan untuk browsing di social media tidak sekuat saat menggunakan smartphone.
Ini melatih saya untuk menjadi lebih sabar dengan Wira. Untuk ikut duduk dan menggambar atau bercerita atau bermain LEGO.
Teknologi dan gadget bukanlah sesuatu hal yang buruk. Malah sebenarnya sangat membantu umat manusia. Makin banyak berita yang dulunya disensor atau tidak dapat sampai di telinga orang lain di belahan bumi lain yang sekarang makin mudah diakses. Makin banyak pintu pengetahuan yang terbuka.
Fokusnya ini soal mengontrol diri. Kontrol terhadap konten dan akses. Kita bisa mengakses informasi apapun yang kita inginkan, tapi harus mengetahui dasar-dasarnya. Just because you can go online for 48 hours straight doesn’t mean you should go online for 48 hours straight (unless you have specific job to do so).
Makin Wira tumbuh besar, tentu saja peraturan penggunaan gadget di rumah juga berubah dan mengikuti perkembangannya. Tetapi saya merasa bahwa paling tidak sudah ada aturan dasar mengenai penggunaan gadget tersebut.