Sudah agak lama, beberapa minggu sebelum ini, kami sekeluarga sedang berjalan-jalan di Suria KLCC. Ketika sedang berjalan di lobby mall, ada anak laki-laki, kira-kira berumur 8-10 tahun, mendadak berteriak dengan kencang berkali-kali. Wira otomatis menoleh ke anak laki-laki itu (yang langsung dibawa pergi secara terburu-buru oleh orangtua dan saudaranya) dan bertanya, “kakak berteriak?”
“Iya. Kakak berteriak.”
“Kakak berisik?”
Dan untuk saya, ini saat yang tepat untuk menjelaskan satu hal ke Wira: Autisme.
“Iya, berteriak memang menimbulkan suara berisik. Tapi kakak berteriak karena sekitar dia berisik dan kakak merasa nggak nyaman dan ketakutan.”
“Kakak takut?”
“Iya. Ada beberapa kakak, adik, dan teman-teman Wira yang lebih sensitif terhadap cahaya dan suara. Beberapa dari mereka belum terbiasa dan suara-suara itu membuat mereka takut. Kalo Wira takut, Wira biasanya ngapain?”
“Nangis.”
“Nah itu. Kakak itu berteriak karena takut dan nggak nyaman.”
“Kakak udah nggak apa-apa sekarang?”
“Insya Allah kakak udah nggak apa-apa. Ayah ibunya si kakak dan adeknya si kakak itu hebat. Mereka tau gimana biar kakak ga takut lagi.”
“Kakak juga hebat?”
“Kakak juga hebat.”
Sumber gambar: Wikihow – How to Reduce Sensory Overload: 8 Steps
Links: 5 Autism Simulations to Help You Experience Sensory Overload