“Kids are actually built like trucks. They are stronger than we thought.“
Itu ucapan temen gw ketika Wira cilik jatuh menggelinding dari tangga.
Saat itu, usia Wira baru 1.5 tahun. Mungkin sedikit lebih tua dari Rey saat ini.
Dia sudah bisa berjalan, tapi belum mahir naik turun tangga.
Singkat cerita, gw baru keluar toilet ketika Wira ternyata sudah bisa membuka pintu kamar sendiri dan mencoba turun tangga rumah di Jakarta. Gw awalnya mau mendekati dia pelan-pelan agar tidak kaget, ternyata anaknya terpeleset dan jatuh menggelinding.
Ketika gw dan suami panik luar biasa dan membawa dia ke dalam mobil untuk langsung melaju ke Unit Gawat Darurat di rumah sakit terdekat, yang pertama disebut anak itu adalah, “DUIT!” ketika dia melihat beberapa koin di dashboard mobil. Bahkan ketika dia akhirnya bertemu dokter di rumah sakit, dia, “nampaknya baik-baik saja, bu. Anak ini masih ada energi untuk berantem sama saya,” ucap dokter jaga sambil menatap Wira yang menangis marah, protes, dan mendesis ke dokter karena pak dokter berani-beraninya pegang-pegang kaki dan kepala dia.
Teman gw berkata begitu.
Anak-anak itu sebenernya kaya truk. Hantam bleh.
Orang tuanya yang panikan (saya, misalnya.)
Usia Wira saat ini 6 tahun, dan apakah 6 tahun itu mengajarkan gw untuk lebih chill?
Bisa dibilang… Nggak.
Tetep sih kalo namanya mamak parno ya.
Seperti saat ini; Wira demam tinggi sejak hari Sabtu. Anak itu mengeluh sakit kepala dan sakit perut. Bahkan bisa demam sampai menggigil.
Bonus? Suami dinas ke luar kota selama seminggu.
Hore.
Demam berlanjut selama tiga hari.
Ada semacam… “Konvensi” di antara orang tua; apabila anak demam, tunggu selama tiga hari. Biasanya selepas itu, demam sudah turun. Kecuali kalau demam si anak sampai 39-40 derajat Celcius. Apabila demam mencapai 39-40 derajat Celcius, walaupun belum tiga hari, langsung bawa ke dokter. Berlaku juga bila si anak kejang-kejang atau kondisi medis lainnya yang mengkhawatirkan.
Semalam, demam Wira sempat sampai 39 derajat Celcius. Gw masih berusaha optimis dengan berharap besok demam turun. Paginya, badan dia mencapai suhu 38.7 derajat Celcius.
Keputusan: langsung ke dokter.
Saat diperiksa, dokter sempat agak khawatir. “Demam dan sakit kepala,” ucap dokter, “takutnya dengue.”
Apabila dengue, musti opname.
Jantung rasanya seperti dicengkeram.
Ini bukan pertama kalinya padahal lho. Pernah Rey kejadian juga begini, di musim pancaroba begini, ada kemungkinan dengue. Woelah, itu gw udah mau nangis di ruang tunggu. Ga kebayang anak bayi musti opname plus infus segala macem.
Akhirnya Wira diambil darah untuk cek laboratorium.
Gw udah mau nangis aja rasanya saat itu. Gw ga bisa ngebayangin anak di rumah sakit sendirian karena gw musti megang adiknya di rumah. Gw jadi inget ucapan temen gw, “doa paling tulus dan paling kuat terdengar di antara bangsal dan lorong rumah sakit.” Itu bahkan “baru” anak gw yang demam. Belum yang lain (duh, naudzubillah…)
Ketika hasil laboratorium keluar, ternyata Wira negatif dengue. Dia kena infeksi bakteri dan musti istirahat di rumah selama seminggu.
Sebagai orang tua, kadang rasanya lu berharap untuk bisa melakukan, menjaga, mengawasi, dan mengatur semuanya; tapi lu tau betul kalo dunia ga seperti itu.
Cepat sembuh ya Wira.