Beberapa minggu lalu, pernah ada rame-rame di Twitter (ya kapan sih ya ga rame di Twitter, hahaha,) karena tweet seseorang yang menganggap kalo kemiskinan itu terjadi karena kemalasan/kerjanya kurang keras dan — kalo ga salah — buat dia, hidup susah itu terjadi karena sebenernya susah ngabisin duit (??? Gw juga ga paham. Waktu gw baca tweet-nya itu gw bingung sebenernya, hahaha.)
Gw ngerasa ya, ada satu titik di hidup kita yang menganggap hal yang sama. Kalo kemiskinan itu terjadi karena malas/kerja kurang keras. Kalo lu kerja lebih keras, lebih gigih, dan lebih rajin, lu akan jadi orang kaya/terbebas dari kemiskinan. Pola pikir yang, kalo bahasa Jawanya: “tatak”, keras untuk punya keyakinan bahwa SUATU SAAT akan terbebas dari kemiskinan itu ada dan subur di publik.
Apakah itu salah? Ya nggak.
Namanya juga kerja, Insya Allah menghasilkan pendapatan, bisa membiayai kehidupan. Banyak contoh dan cerita yang lama-lama gajinya atau penghasilannya meningkat, lalu mulai bisa hidup lebih nyaman.
Tapi… Untuk langsung menuding orang lain kalo, “LU MISKIN KARENA LU MALAS” itu agak ceroboh.
Perkenalkan; kemiskinan secara sistemik/systemic poverty.
“Families trapped in the cycle of poverty, have either limited or no resources. There are many disadvantages that collectively work in a circular process making it virtually impossible for individuals to break the cycle. This occurs when poor people do not have the resources necessary to get out of poverty, such as financial capital, education, or connections. In other words, impoverished individuals do not have access to economic and social resources as a result of their poverty. This lack may increase their poverty. This could mean that the poor remain poor throughout their lives.” — Cycle of Poverty (Wikipedia)
Ini kita ngomongin kemiskinan dalam sisi ekonomi/material ya; jadi emang ada landasan berupa biaya hidup. Terdengar sangat keji, tapi kalo mau ngomongin dari segi ekonomi, ya emang ada yang namanya kelas dalam ekonomi.
Maksudnya apa itu, “when poor people do not have the resources necessary to get out of poverty”?
‘On a Plate’ (2015) oleh Toby Morris (https://www.radionz.co.nz/news/the-wireless/373065/the-pencilsword-on-a-plate)
![](https://corianderinpho.com/wp-content/uploads/2019/03/19eaaab7-e464-4bc2-aefc-d6b44f7def43-1855-000006b9b95c6c44.png)
![](https://corianderinpho.com/wp-content/uploads/2019/03/3bfb45bb-70ab-4e89-8fa5-eb187ee5200b-1855-000006b9be73789f.png)
![](https://corianderinpho.com/wp-content/uploads/2019/03/87ec0b76-7dbf-4fad-a8a9-bb52d250347c-1855-000006bb232cbe43.png)
![](https://corianderinpho.com/wp-content/uploads/2019/03/bfcc4c6a-86b8-4c2d-8e99-516c3117b913-1855-000006bb3fb457da.png)
Itu contoh mengenai kemiskinan sistematis dan privilege.
Kemarin gw ngeliat artikel dari Bored Panda mengenai seseorang dari kelas menengah mencoba menjelaskan apa itu kemiskinan ke temennya yang koaya roaya. Orang yang berkecukupan/kaya ini bingung, “lu kan tinggal nabung aja? Apa susahnya nabung $5 per bulan?”
Dan soal menabung itu juga udah banyak digaungkan oleh para financial advisors — bahkan dicetak dalam kepala kita sejak kecil.
Masalahnya gini; oke, lu menabung. Tapi, misalnya, mendadak atap rumah bocor? Mendadak lu sakit? Oke, ada dana darurat. Tapi apa dana darurat itu cukup kalo memang masalah datang bertubi-tubi? Misalnya kecelakaan. Udah lah kendaraan rusak, belum lagi biaya kesehatan. Untuk soal kesehatan, kita bisa masuk ke ranah BPJS, tapi itu bakal melenceng jauh jadi gw ga mau ngebahas soal itu dulu.
![](https://corianderinpho.com/wp-content/uploads/2019/03/688162ae-f9a4-41e0-b019-56608aa3184c-1855-000006bd7eddfc2a.jpg)
![](https://corianderinpho.com/wp-content/uploads/2019/03/acde19ed-78fb-48e2-874d-b491c5f23fd1-1855-000006bd868c9f83.jpg)
![](https://corianderinpho.com/wp-content/uploads/2019/03/b7aea0a9-bd9d-4a01-b5f5-742e9ee3870c-1855-000006becb0ec63a.jpg)
Sekarang pertanyaan sejuta dolarnya: Apakah salah menjadi orang kaya? Apakah salah lahir dengan segala kelebihan/privilege?
Tidak.
Yang salah adalah ketika kita NGGAK menyadari bahwa kita hidup berkecukupan dan kaya raya ini karena tangan orang lain yang terjulur ke kita, karena akses, karena pendidikan yang kita dapet dari kecil, karena makanan sehat yang kita konsumsi.
“Check your privileges,” kalo kata orang bule. Banyak orang gembar-gembor “iyaa, saya usaha bisnis ini dari bawah lhooo, bukan bisnis ayah sayaaa.” Yeeekaaali, ortu lu ngasih lu modal seratus juta tunai kan? Siapa tau kan?
Don’t dismiss your privileges and see yourself as, “I deserve this because I’m working hard.” Iya, lu mungkin emang bekerja keras, tapi lu ada back-up di belakang lu, dan itu sebuah kemewahan yang mungkin ga dimiliki banyak orang.
Pertanyaannya lagi; apa yang akan lu lakukan ketika lu tau bahwa selama ini hidup lu disokong banyak orang? Gimana caranya lu bisa menyokong orang lain?
This sounds so socialism, and it is. Makanya ya paham sosialisme itu populer, karena itu bentuk masyarakat utopis ketika semua orang saling membantu dan nggak ada kemiskinan sama sekali.
Dan ketika lu tau bahwa yang namanya kemiskinan itu mustahil dihilangkan, atau kalopun mau dihilangkan itu musti ada pengorbanan yang sangat besar dari lu, apakah lu mau menjalankannya?
2 responses to “Kemiskinan Sistemik”
Setuju banget sama ini. Pernah denger juga ada politikus yg blg, kemiskinan di Indonesia itu terstruktur. Susah keluar kecuali ada keajaiban.
Anw, salam kenal ?
Salam kenal! ??