Beritanya muncul kemarin, ketika ada screenshot notifikasi bahwa aplikasi media sosial Path akan ditutup pada bulan Oktober.
Sempet ada gelombang panik di kalangan anak-anak Path.
Ada yang berkomentar agak sinis di media sosial sebelah, “emangnya kenapa sih? Biasa aja kali. Path juga udah sepi gitu.”
Sepi untukmu.
Tapi belum tentu hal yang sama berlaku di orang lain kan?
Sempat ada keraguan apakah screenshot yang beredar itu hoaks atau bukan. Seolah-olah sumber gambarnya hanya satu, pengguna Path lain kok belum terima, itu grammar-nya salah, ada gosip pihak Path memang mau membuka bisnis sampingan — entah memang sampingan atau Path akan dimatikan.
Lalu tadi siang, muncul berita resminya. Tepatnya, muncul lah itu notifikasi Path menggantikan tab iklan yang biasanya ads.
Huru-hara.
Kenapa? Apa pentingnya Path ini buat gw?
Dulu, ketika Twitter baru dimulai di Indonesia kisaran tahun 2007-2008, ada sekelompok pengguna Twitter Indonesia yang jumlahnya masih sangat terbatas saat itu. Lu lagi lu lagi, bisa dibilang begitu. Para early adopters. Ada beberapa lingkaran pertemanan walaupun masing-masing saling kenal lintas lingkaran, dan salah satunya adalah JTUG (Jakarta Twitter User Group). Namanya doang “Jakarta”, tapi isinya ada yang berdomisili di Kuwait, Singapura, hingga London. Selain JTUG, ada juga JogTUG, Jogjakarta Twitter User Group. Kumpulan-kumpulan para pengguna ini sering menjadi “pintu masuk” para pengguna baru.
“Cek aja akun JTUG atau JogTUG kalo mau nyari temen di Twitter sini.”
Dan dengan caranya sendiri, lingkaran pertemanan ini menjadi semakin kuat dan kompak.
Twitter menjadi semakin ramai; untuk segala hal yang baik dan untuk segala hal yang buruk. Puncaknya di tahun 2014, ketika terjadi pemilu Presiden RI, mengakibatkan Twitter begitu riuh, berisik, dan beracun — membuat banyak anak-anak JTUG dan user group lainnya memilih diam, nonaktif akun, bahkan sampai menghapus akun.
Pelan-pelan, mereka berpindah ke Path.
Di Path, obrolan ringan kembali dimulai. Bercanda receh kembali bergelak. Kadang, berbagi rasa takut, rasa cemas, dan rasa sakit. Seperti biasa, semua orang siap dengan pelukan digital dan ucapan penyemangat.
Persahabatan yang berjalan hampir 10 tahun dan masih akan berlanjut berakar kuat di Path. Terkadang bertambah teman baru, berbagi pengalaman dan ilmu.
Untuk beberapa orang, malah, Path itu seperti ruang makan mereka. Tempat beristirahat, mengisi energi, sambil mengobrol. Seperti ruang TV, dapur, meja makan. Ngobrol sambil tertawa terbahak-bahak antar teman.
Sehingga ketika ada kabar Path ditutup, rasanya seperti orang-orang hebat ini dicerabut secara paksa.
Yang ada di pikiran hanya satu: “Jangan sampai komunikasi terputus.”
Segala macam media sosial dijadikan pertimbangan berikut pro dan kontranya. Semua usul diberikan. Sampai ada permintaan, “kalian pada mau pergi ke manaaaa? Aku ikut yaaa!”
Notifikasi update app paling sedih yang pernah gw liat.
Terima kasih, Path. Terima kasih untuk 6 tahun belakangan ini.
One response to “Terima kasih, Path”
[…] untuk menghentikan layanan juga jadi prioritas — cuma ya ini bikin keinget aja dengan keputusan menutup Path, walaupun masih ada penggunanya. Mau gimana juga pasti ada rasa […]