Saya nggak bisa tidur, dan setelah menghabiskan waktu di Path, Candy Crush Soda (berhenti di level 125 *le sigh*), dan Tumblr (sangat senang karena beberapa blog Tumblr yang saya follow sedang spam keluarga kerajaan Jepang), akhirnya saya memutuskan melakukan kegiatan yang orang normal biasanya lakukan: Ngeblog.
Jadi inget Nita yang kalo malem-malem ga bisa tidur biasanya masak atau manggang kue, haha.
Karena ini ngetik lewat tengah malem, pake touchscreen pula (di iPad), jadi mohon maaf kalo ada salah ngetik dan mulai ngelantur.
Sudah tiga minggu Wira sekolah, dan jujur aja, perkembangannya lumayan terlihat. Dari hari pertama yang nangis seharian (“IBU MANA? IBU MANA?”) sampe akhirnya saya tega ninggalin dia sendirian di sekolah di hari kedua sekolah dan minggu kedua dia masih cemberut sambil bilang, “Wira ga mau sekolah!” Dan berujung di minggu ketiga dia udah lari-lari masuk kelas nggak inget peluk cium ibunya lagi, boro-boro ngomong “I love you, ibuuuuu!” Heuh.
Satu hal yang saya belajar dari pengalaman Wira sekolah ini adalah kerelaan saya untuk “melepas” dia. Ini penyakitnya ibu-ibu; ketika bersama anak, rasanya setiap menit membatin, “aduh ini kapan gw bisa me-time sendiri? Kapan gw bisa santai ga pake diganggu anak?!” Tapi sekalinya beneran dapet kesempatan sendiri, ke salon misalnya, kepikiran terus sama anak di rumah sampe buru-buru pulang, hahaha. Hayo ngaku siapa yang seperti itu juga
Soal “melepas”. Ga secara fisik aja, tapi juga secara mental. Saya adalah ibu yang cerewet dan tukang ngomel. Wira jago ngomong “no!” dan “tidak!” karena ya asalnya siapa lagi kalau bukan saya. Sebelum Wira mulai sekolah, apa-apa saya yang ngurusin. Cuci tangan, cuci kaki, makan kadang disuapin, minum diambilin, sampe sendal dipakein.
Saat Wira sekolah, di hari pertama saya menunggui dia selama seharian (satu lagi bukti saya ibu-ibu susah move on, hahaha) dan saya, jujur aja, kaget.
Anak-anak yang bahkan lebih kecil dari Hobbit sudah bisa mengenakan dan melepas sendal dan sepatu mereka sendiri. Nggak pake ditemani guru, mereka masuk kelas setelah melepas sendal/sepatu, meletakkan alas kaki dan tas di rak, lalu mencuci tangan. SENDIRIAN.
Makan siang semuanya dengan rapi duduk di ruang makan dan makan sendiri dengan tenang. Selesai makan, mereka meletakkan piring kotor dan sisa makanan dengan rapi. SENDIRIAN.
Saya adalah orang dewasa yang menganggap remeh anak-anak. “Emang mereka bisa apa sih? Masih kecil kok!” Dan saat saya melihat itu, saya kaget. Memang, pekerjaan “mudah” seperti makan, melepas alas kaki, dan cuci tangan. Tapi dilakukan oleh anak-anak balita (yang saya panggil dengan penuh kasih sayang sebagai “mini-Hobbit yang mukanya terdiri 95% pipi”) itu adalah hal yang hebat.
Berapa kali kita melihat raja dan ratu cilik, yang apa-apa semuanya harus dilayani, bahkan makan?
Saat saya mengobrol dengan staf sekolah, dia berkata satu hal yang membuat saya berpikir lama selama beberapa hari.
“They are well-functioned human being. Yes, they are still small. They are toddlers and small children with their limitations. But they are human being who able to think and act.
To “accept” them as invalid — as in, unable to do anything by themselves — is insulting for them. Just give them some room to grow and explore.
And keep your expectation low. In fact, don’t expect at all. They are human beings with their own characteristics and life. Their goal is not to meet your expectation. Their goal is to be the best human being for their generation.”
Banyak saat ketika saya merasa tahu dan mengenal Wira, tapi ternyata saya belum kenal dan belum tahu. Saya rasa karena saya memang berharap ke dia. Saya mempunyai impian-impian dan bayangan masa depan dia di kepala saya.
Tetapi itu di diri saya. Bukan di diri Wira. Sedangkan, apakah saya peduli akan impian dia pribadi? Mungkin nggak, karena saya ngomel terus sepanjang jalan kenangan.
Sebagai ibu, memang sudah ada di insting untuk senantiasa maju ke depan dengan gagah berani melindungi si anak dari apapun yang terjadi.
Tetapi sebagai ibu, penting juga rasanya membiarkan si anak mengepakkan sayap untuk menjelajah dunia baru. Tendang ke luar sarang, kalau perlu.
4 responses to “Kemandirian Anak”
“tendang ke luar sarang”
Bokap gue ngelakuin hal yg sama ke gue, dan dia juga ngomong sih :)) Kalo gak ditendang bisa gak terbang2 karena terlalu nyaman, jadi mesti ditendang keluar loll
“Nothing personal, kid. But we’re sick of having you around so yeah…” XD
Susahhhh. Tapi harus. Tapi susaaaaah. Tapi harus.
Gue sendiri lebih memilih mendingan gue yang keras sama anak dibanding orang lain yang keras ama dia.
Setuju teh. Kalo orang lain yang kepaksa keras, berarti akunya yang ga bisa nerapin disiplin. Mending kita yang galak deh, heheu.