E-mail dan Kepercayaan

Selewat aja nulis. Barusan saya bikin akun e-mail di Outlook — alasannya? Nggak ada. Rasanya pingin aja punya e-mail baru *kurang kerjaan* Dan beberapa kali denger temen ngomong kalo app Outlook for iOS itu lumayan keren.

Dulu sih punya, tapi udah saya delete — karena username-nya yang kelewat alay, hahahaha *aren’t we all?*

Terus jadi keinget, dulu jaman awal-awal ngeblog tahun 2004-2005 itu awam banget yang namanya naro e-mail di blog. Macem informasi kontak lah. Kalo mau menghubungi atau kenalan, bisa kirim e-mail ke alamat sebagai berikut *sok penting ya. Iya* Dan ga cuma e-mail; sampe ID Y!Messenger (iya, masih heits itu Yahoo!Messenger) juga dipasang. Segala macem lah kontak pribadi ditaro di ruang publik seperti blog.

Kebiasaan naro alamat e-mail di blog mulai menurun di kalangan blogger ketika e-mail spam merajalela tahun 2005-2006 (pangeran Nigeria. Ingat?) Informasi yang tersebar di kalangan blogger bilang kalo crawler itu nyomotin e-mail kita dari e-mail yang terang-terangan dipasang dalam bentuk hyperlink. Jadi kalo mau “aman”, e-mail ditampilkan dalam bentuk gambar/banner atau seperti username [at] domain.

Makin ke sini, makin meluas penggunaan Internet di orang banyak, makin sedikit informasi pribadi yang disajikan di blog atau di ruang publik manapun. Makin nyadar kalo orang baik itu banyak, orang jahat juga banyak. Apalagi tukang kuntit atau tukang neror. Sekarang naro e-mail di ranah publik mungkin masih awam, tapi nggak sesantai dulu. Biasanya murni untuk urusan profesional/pekerjaan — dan misalnyapun dapat e-mail dari orang yang mengetahui e-mail kita dari ranah publik, biasanya ditanggapi dengan sangat berhati-hati.

Lucu ya, makin kita terekspos dengan dunia luar dan orang banyak, makin sulit percaya kita dengan orang banyak itu.

Dan lebih lucu lagi, kita jadi berhati-hati dengan alamat e-mail kita, namun membuka diri kita lebar-lebar di ranah social media. Dari hobi, tontonan TV favorit, sampai foto tagihan beserta alamat rumah (iya, saya pernah liat seorang pengguna social media mengunggah foto tagihan listrik dia yang, celakanya, beserta alamat rumah pribadi) dipasang begitu saja. Ada juga saya pernah melihat di Instagram, seorang remaja dengan polosnya (atau… Ehem. ‘Kurang cerdasnya’? *saya berusaha sopan di sini ya. Iya*) mengunggah foto kartu kredit dia — American Express — dan terpampang jelas tiga digit terakhir kartu kredit dia.

Teman saya, teh Nita, pernah berkomentar, “beras aja ada takarannya. Mbok ya kalo bodoh itu juga ditakar…”

Tapi ya selalu ada dua sisi mata uang. Sama seperti HONY (Humans of New York) yang berhasil mengumpulkan uang lebih dari dua juta dolar Amerika dalam waktu kurang dari 12 jam untuk membantu seorang ibu aktivis kemanusiaan di Pakistan. Apakah para penyumbang dana kenal baik dengan si ibu? Nggak. Apakah mereka tau seluk beluk kehidupan pribadi Brandon, penggagas HONY? Nggak juga. Tapi mereka punya satu hal yang sama: Itikad baik. Percaya bahwa tiap manusia bisa berkontribusi, sekecil apapun, untuk hal yang lebih baik. Itu kepercayaan.

Tapi seberapa jauh “kepercayaan” itu akan membawa kita untuk membuka data diri dan privasi kita lebar-lebar di ranah publik?

Buat saya, Allah udah nutupin aib kita. Ya mosok kita sendiri manusia yang malah buka-buka aib.

Get new post delivered directly to you!

Enter your email to subscribe!

Continue reading