Post dari Path sebulan lalu:
Ini bakal jadi tulisan panjang.
Jadi sempet di Youtube ada Youtuber Jepang (dia orang Amerika bersuamikan orang Jepang dan tinggal di Jepang) ngebahas soal protes orang Asia-Amerika (spesifik: Japanese-American) mengenai sebuah museum yang sedang memamerkan karya seniman Jepang dan naro kimono di situ buat dipake pengunjung untuk foto-foto.
Nah ini jadi dibahas karena: 1. Japanese-American pada protes, 2. Orang Jepang di Jepang sendiri ga masalah — malah seneng.
Jadi lah kontra internal. Ada yang bilang “YA GABISAGITUDONG” dan ada yang bilang “butthurt banget jadi manusia, gampang tersinggung.”
Jadi ini isu appreciation v. appropriation budaya.
Gw sendiri orang Indonesia dan gw belum pernah ngerasa jadi minoritas “tertindas” di negara orang dan negara sendiri (what a fucking privilege, ya?)
Tapi coba liat dari kacamata para pendatang itu di Amerika. Secara spesifik: African-American dan Asian-American.
Mereka dihina-hina karena bawaan fisik ras mereka. Bibir dower lah, “ching-ching-chong”, atau “slanted eyes” lah. Belum lagi hak dan kesempatan mereka yang jauh lebih sedikit dibanding kulit putih (seperti Galih bilang, berapa banyak sih aktor dan aktris Asia di Hollywood?)
Lalu para kulit putih ini mendadak menganggap budaya kulit hitam dan asia ini “eksotis”. Mereka bilang mereka “world citizen“. Mereka anggep cornrows atau kimono itu “misterius dan bergaya”. Mereka bilang henna dan bindi itu “sensual dan dipake buat summer festival.”
Ini yang bikin banyak kaum POC (people of color) marah di Amerika.
You insult our physical appearances, our heritage, our beliefs, our religions, our cultures, yet you take bit of our cultures and trying to mystify it and reclaim it as your own.
Ini kaya, “ih orang India itu mah najis! Manusia kelas rendah!” tapi pamer-pamerin bindi kemana-mana dan menganggap diri sendiri “berbudaya”. Dan di Amerika sendiri isu rasisme masih kenceng banget.
Ada beberapa orang POC yang ga ambil masalah; dan orang-orang di negara asal juga ga masalah — malah lebih santai (temen kampus gw sesama Cina malah saling menghina juga.)
Tapi buat gw pribadi, lebih baik berhati-hati dalam melangkah. Menggunakan budaya orang lain buat kepentingan diri sendiri (apalagi kalo biasanya menghina-hina budaya dan kaum tersebut) buat gw sangat konyol — dan selain merendahkan orang lain, juga merendahkan diri sendiri.
(Ngomel panjang pendek juga gw pas baca ini: https://opendemocracy.net/transformation/how-to-decolonize-your-yoga-practice — link dari Glenn)
—
Dan ada lagi, dari bulan Juni 2015:
Kapan gitu, gw pernah baca di forum online soal hiasan kepala Buddha di rumah-rumah.
Kira-kira gini isinya.
“Gw suka ga sreg kalo liat hiasan kepala Buddha yang lagi ngetren sekarang ini. Buat banyak orang, hiasan itu dianggep “religius” atau “berbudaya Timur LOL gw sangat bijaksana”.
Hiasan kepala Buddha itu mulai ada di pasaran melalui sejarah yang rada kejam. Setiap ada gerakan militer atau konflik agama yang melibatkan pembunuhan para biksu Buddha — dan itu sering banget tercatat dari Asia Timur sampe Asia Tenggara — sering patung-patung Buddha di kuil atau vihara itu dipotong juga untuk menandai hancurnya kuil/vihara itu dan menandakan berkuasanya militer di tempat itu. Selain itu, patung-patung Buddha itu juga dihancurkan sebagai cara menghina para biksu, semacem “where’s your God now?“
Potongan kepala dari patung-patung itu biasanya berakhir di pasar loak atau pasar gelap berkilo-kilometer dari tragedi itu. Seperti barang jarahan. Dijual ke turis-turis yang ingin “berbudaya” dan membawa sepotong kebudayaan dari tanah yang mereka kunjungi untuk dipajang di ruang tamu mereka.
Dan entah kapan mulai menjadi trend, sampai banyak sekali replika dan produksi massal kepala Buddha itu.
Tapi gw rasa ga banyak juga yang tau sejarah yang rada ngeri dari hiasan interior rumah itu.”