Dear adek.
Oke, sebelumnya foto ini mungkin bikin kamu bingung — ini portrait atau landscape sih buk? Seharusnya portrait tapi kau tau lah cem mana ini WordPress kadang-kadang aplod foto seenak jidat dia dan ibuk mah males edit-edit lagi nanti kebawa emosi karena buat ibuk, tampilan dan konten itu harus sesuai yes.
Anyway…
Dear adek.
Akhir-akhir ini ibu mulai sering liat foto dan video abang kamu, Wira, ketika dia masih bayi. Sebabnya: 1. Ibu kangen bau bayi dia yang masih wangi dan bau mulutnya wangi ketumbar. Sekarang? Bau matahari, bau keringet, bau kentut. Bau bocah lah (dan abangmu SELALU protes, “WIRA BUKAN BOCAH!”) 2. Mungkin ya bawaan hormon, ibu jadi membayangkan ketika kamu sudah lahir nanti seperti apa saat ibu gendong dan kamu beraktivitas seperti… Errrr, bayi.
Ada dua video abang Wira masih bayi (newborn, malah. Usia 3 bulan gituh?) yang utimu kirim ke ibu karena ibu minta. Dua-duanya abangmu sedang menangis. Yang pertama, dia menangis karena nggak ada ibu di samping dia (ibu lupa, apakah pas itu ibu sedang pergi atau sedang istirahat) sementara utimu nyanyi “Selamat Pagi Ayah dan Ibu” dan abangmu mendadak diem dengerin utimu nyanyi.
Yang kedua…
Ini ibu baru inget semalam. Dan rasanya seperti ditampar.
Ibu selalu membanggakan diri bahwa “I live for the moment. I’m not living in the past.” Ibu selalu jumawa bahwa kalo ibu bisa kembali ke masa lalu, ga ada yang akan ibu ganti sama sekali. “I am what my past made me,” ceunah.
Tapi mengingat latar belakang video itu, rasanya ibu ingin sekali kembali ke masa itu dan memeluk ibu yang dulu untuk mengatakan “SEMUA AKAN BAIK-BAIK AJA” dan menggendong abangmu yang sedang menangis.
Di video itu, abangmu sedang menangis merengek sementara utimu bernyanyi ‘Adikku Yang Kusayangi’. Lalu ada sekilas utimu berkata, saat abangmu sudah tenang, “… Aku hanya ingin diajak mengobrol dan bernyanyi, ibu…”
Ibu ingat, saat itu ibu frustrasi. Abangmu hadir dalam situasi yang tidak direncanakan (dan Wira, kalo kamu baca ini dan kamu siap-siap dramak seperti ibumu ini, baca lanjutannya ya…) Hanya selang 1-2 bulan setelah ayah dan ibu menikah, ibu hamil. Kami berdua nggak ada rencana, “wah, mau langsung punya anak setelah menikah!” sama sekali. Sama sekali. Malah ibu sempet berpikir, “apa nanti-nanti aja ya punya anak?”
Tapi Allah berkata lain. SK dari Surga sudah turun dan berkata, “Aku titipkan kepadamu.”
Dear Wira.
Kamu anak pertama. Dan dalam berbagai konteks di dunia ini, kamu adalah guru ibu.
Ibu belajar menghadapi rasa takut, rasa marah, rasa benci terhadap diri sendiri, sampai rasa memaafkan diri ibu sendiri melalui kamu. Kamu yang menghadapi baby blues ibu, kamu yang nyaris menjadi target post-natal depression ibu, kamu yang mengajarkan ibu selera humor ala mamak-mamak, kamu yang mengajarkan kepada ibu untuk bodoamat dengan badan melar sehabis melahirkan karena kamu dan ibu sama-sama tahu bahwa ada hal yang jauh lebih penting dibandingkan badan dan penampilan fisik: Kebahagiaan dan kewarasan batin ibu.
Kamu mengenalkan kepada ibu konsep untuk membahagiakan diri sendiri sebelum membahagiakan orang lain. Kamu mengenalkan kepada ibu rasa takut yang amat sangat dan keinginan untuk menukar rasa sakit dengan seisi dunia saat tengah malam berlari menuju Unit Gawat Darurat. Kamu mengenalkan kepada ibu bahwa jiwa yang terluka akan memproyeksikan hati yang terluka pula ke sekelilingnya — dan kamu membantu ibu untuk memperbaiki jiwa ibu dengan cara memaafkan ibu.
Dear adek.
Di video itu, ibu frustrasi. Abang Wira sudah menyusu, namun masih rewel. Ibu gendong, masih juga merengek. Ibu nggak tau harus kaya gimana lagi. Ibu sedih, marah, kesal, tertekan, menyalahkan diri sendiri, dan menyalahkan abang Wira. Rasanya saat itu ibu ingin pergi saja. Bodo amat dengan semuanya, ibu pengen pergi. Ibu ga mau tau. Ibu merasa bahwa ibu sebenernya bisa bebas dan pergi begitu saja meninggalkan ayah dan abang Wira.
Utimu, saat itu sedang menginap di rumah untuk menemani ibu, mengajak abang Wira bernyanyi.
Pengalaman memang membedakan manusia ya nak. Utimu sudah mempunyai empat anak. Ibu baru satu saat itu (plus, uti dulu guru TK.)
Uti mengajak abang Wira bernyanyi, dan lama-lama abang Wira terdiam tenang. Bahkan sesekali tersenyum.
“… Aku hanya ingin diajak mengobrol dan bernyanyi, ibu…”
Di tengah kekalutan pikiran ibu, ibu lupa bahwa mungkin memang itulah yang abangmu, 3 bulan usianya saat itu, inginkan. Hanya ingin diajak mengobrol. Bahwa dia sadar kalau ibunya sedang cemas dan sedih. Dia hanya ingin mengobrol dan mungkin dengan caranya sendiri, ingin berkata, “ibu jangan sedih.”
Dear Wira.
Ibu minta maaf.
Apabila semua air di lautan di muka Bumi ini bisa ibu jadikan tinta untuk menulis permintaan maaf untukmu, akan ibu lakukan.
Ibu minta maaf.
Dear adek.
Ibu akan berusaha menjadi individu yang jauh lebih baik lagi; dan entah kenapa ibu percaya bahwa ibu bisa.
Karena ada ayahmu dan abangmu.
Percayalah, mereka orang-orang kuat.
Sampai nanti, ya adek. Sehat-sehat ya di dalam perut ibu. Bobo yang banyak, main yang banyak, makan yang banyak, minum yang banyak, biar adek selalu sehat.
Dear anak-anak.
You are stronger than you think.
Ini pesan dari ibu untuk kalian pegang sampai dewasa:
You are stronger than you think. Kalo sampe ada orang yang meremehkan kalian, gebukin aja. Kentutin dulu.
Penuh sayang dan peluk,
Ibu
2 responses to “Dear anak-anak…”
lagi melo nih sih penulis huehehehe
Kalo pernah ngalamin baby blues nyaris depresi dan pengen nyakitin anak sendiri sih mellow-nya memang susah ilangnya, mas 🙂