Kapan pertama kali dirimu berkenalan dengan sebuah benda bagus?
Misalnya, selama ini pake lipstik merek biasa-biasa saja/drugstore, lalu pertama kali nyobain lipstik merek mewah seperti Dior atau Chanel yang tersohor itu.
Misalnya, selama ini pake baju biasa-biasa aja — diskonan dari supermarket biasa-biasa saja juga — lalu pertama kali nyobain pake baju dengan kualitas tinggi dan kain yang halus dan adem.
Misalnya, selama ini makan ya alakadarnya yang penting bisa tergapai tangan dan dompet, lalu pertama kali nyobain makan di restoran super mewah dengan kualitas makanan yang luar biasa dengan rasa yang sangat enak.
Ketika sudah “berkenalan” seperti itu, biasanya memorinya terpatri di kepala, ya nggak? Hihi. Standar naik beberapa senti (atau beberapa meter), dan jadi bisa membandingkan. Jadi tau kalo ada hal-hal yang “lebih” di luar sana.
Ini sebenernya mau ngomongin… Kertas.
Pertama kali saya berkenalan dengan kertas bagus itu ketika saya masih kuliah. Adik saya mengenalkan saya dengan kertas Canson. Kertas yang spesifik untuk menggambar. Variannya ada banyak, dan dia memberikan saya yang varian untuk cat air (watercolor paper).
Saya pernah bilang di sini kalau cat air adalah musuh terbesar saya?
Saya benci setengah mati dan cinta setengah mati dengan cat air. Saya sangat mengagumi kebeningan warnanya, kehalusan hasilnya, dan aura mimpi yang selalu terpancar dari karya-karya cat air (film-filmnya Ghibli rata-rata menggunakan cat air untuk menggambar latar belakangnya. Jadi mohon bersabar kalo saya sudah mulai teriak-teriak, “TUWAEK, ITU CAT AIR SEMUA??” setiap saya menonton film-filmnya Ghibli.)
Dan saya membenci cat air karena kehalusan ilmunya itu.
“Cat air ini harus sabar,” kata guru kesenian saya saat saya masih SD. Namanya Pak Syamsudin. Beliau sangat sangat sangat mencintai seni. Menggambar, musik, menari… Pernah sekali pak Syam ini memegang wayang golek milik SD kami dan mendadak beliau, iya, ngewayang. Merubah suaranya menjadi cempreng lalu mengajak anak-anak SD berinteraksi dengan si wayang. Kami semua tertawa terbahak-bahak.
Saat itu ada lima anak berada di teras rumah pak Syam. Kami semua suka ngumpul di rumah pak Syam, karena beliau juga membuka sanggar seni di rumahnya. Ada anggota sanggar beneran, ada yang sekedar nongol buat ngegambar aja, hahaha.
“Cat air ini harus sabar,” kata pak Syam, sambil memandangi saya yang sedang frustrasi mewarnai biru langit. “Kamu harus menunggu sampai catnya dalam situasi yang pas untuk memberi warna lain. Kalau tidak, tidak berhasil.”
Ucapan beliau saya ulang-ulang seperti mantra di kepala saya setiap saya berada dalam medan perang melawan cat air.
Cat air ini harus sabar.
Nggak ada namanya bisa menguasai cat air dalam sekejap.
Harus sabar.
Harus rendah hati.
Rajin liat tutorial di Youtube, coba cari tips dan trik di Pinterest atau dari FB sesama teman yang suka menggambar.
Walaupun kadang rasanya ingin melempar kepala adik laki-laki saya yang ngeloyor di depan saya saat saya bersusah payah menggunakan cat air dan dia bergumam dengan entengnya, “cat air kan gampang…”
Maaf ya, saya bukan mahasiswa jurusan Desain yang dapet nilai A di skripsinya. Nggak kaya kamu 😐
Ketika saya menggunakan kertas Canson yang diberikan adik saya untuk menggambar dengan cat air, asli, saya… Terkejut.
Nggak, saya tetep NGGAK AKAN bilang itu gampang.
Tetapi memang nggak bikin otak saya jadi keriting dalam hitungan detik.
Kertas tidak jadi lembab ga jelas, kertas yang tebal dan kokoh, warna yang timbul tetap cemerlang.
OH EM JI. INILAH SURGA DUNIA.
Sejak saat itu, saya jadi rewel luar biasa soal kertas. Setiap buku sketsa habis — atau sengaja beli buku sketsa karena saya boros — saya bisa jongkok lama banget di depan rak yang penuh buku sketsa dan buku gambar. Tangan saya sibuk mengelus kertas.
“Nggak, ini terlalu licin. Nggak, ini terlalu kasar — ini buat arang atau pastel, biasanya. Nggak, ini bukan buku sketsa. Nggak, ini kualitasnya kurang bagus.”
Suami saya sekarang sudah kenyang setiap denger saya merengek mau ke toko buku untuk membeli buku sketsa.
“Buku sketsa yang seperti apa lagi? Cat air?”
“Nggak. Buku sketsa biasa aja. Buat pensil sama pena.”
Suami saya udah nggak mau lagi berargumen “bedanya apah?” daripada saya kuliahin bedanya kertas khusus cat air dengan kertas untuk pena dan pensil yang bisa berpuluh-puluh menit. Dan dia ogah untuk bertanya lebih lanjut, “buku biasa emang ga bisa ya?“
Semalam, saya mencoba menggambar di kertas HVS biasa. Kertas A4 untuk fotokopi. Menggunakan pensil.
Dan saya kaget.
SUSAH rupanya. Pensil saya terasa sangat licin dan tidak mantap di kertas. Saya berkali-kali menghapus, dan saya takut kertasnya akan robek karena tipisnya.
Tetapi ini bukan soal kertas mana yang superior.
Saya keinget, dulu sebelum kenal dengan kertas Canson, saya toh sudah senang menggambar. Iseng membuat komik sendiri karena ibu saya tidak suka saya membaca komik, hahaha.
Dan saat itu saya menggambar di mana saja. Buku bekas, buku tulis bergaris… Apalagi kertas HVS biasa. Habis langsung.
Dan saat itu, saya sangat… Senang.
Bodoamat jenis kertas apa. Saya senang bisa menggambar. Saya senang ada pensil di tangan saya dan kertas di depan saya.
Semalam, saya senang bisa diingatkan kembali dengan perasaan itu. Perasaan senang menggambar. Apapun kertasnya. Tetapi keinginan untuk menggambar dan menggambar selalu ada.
Dan dengan kertas yang jauh lebih baik, kualitas gambar seharusnya jadi lebih baik kan?
Selamat hari Jumat, semua 🙂