Ini ditulis saat saya sedang menemani Wira tidur di kamarnya sendiri.
Salah satu tantangan menjadi orangtua adalah manajemen waktu. Bukan soal manajemen waktu bekerja, hiburan, dan lain-lain saja. Manajemen waktu untuk siap waktu “diambil” anak, hahaha. Salah satunya soal tidur.
Sejak lahir, Wira sudah tidur bersama kami di satu tempat tidur/co-sleeping. Salah satu enaknya untuk saya adalah kemudahan menyusui dia saat dia masih minum ASI.
Nah, sekarang, dengan berat dan tinggi badan jelas sudah mendekati anak-anak plus gaya tidur yang makin aneh, yang namanya tidur sudah jadi lebih mirip medan perang perebutan lahan (dan selimut. Dan guling. Dan bantal) ketimbang tidur normal selayaknya orang lain.
Jadi sudah sebulan ini Wira kami latih untuk tidur sendiri.
Dan itu bukan hal yang mudah. Sama sekali nggak.
Sama seperti balita dan anak-anak lainnya, alasannya BERJUTA-JUTA.
Mau makan kue.
Mau pegang Lego.
Mau sama teddy bear.
Mau pake selimut.
Mau minum air putih.
Mau minum susu hangat.
Mau minum Milo hangat. Nggak ada? Ya udah, air putih lagi.
Mau cari ayah.
Mau cari ibu.
Tapi yang namanya tidur sendiri ini nggak cuma anaknya yang panik lho. Orangtuanya juga, hahaha. Saya rasanya seperti kembali ke masa Wira baru lahir. Yang “tidur” cuma mata, tapi syaraf dan segala indra perasa terjaga. Begitu bunyi “krek” atau “ngek” dikit, saya langsung buka mata. Bahkan setelah saya yakin anaknya tidur nyenyak pun, saya masih nggak bisa tidur.
Wira juga belum bisa tidur semalaman penuh di kamarnya. Sebelum tidur masih harus ditemani sampai dia benar-benar tidur dan sering jam 3-4 pagi dia terbangun dan sambil merengek dan membawa bantalnya dan boneka beruangnya dia pindah ke kamar saya dan Ari.
Tapi mungkin itu serunya menjadi orangtua kali ya? Hahaha.
Saya sendiri merasa, saat ini saya masih bisa mengendus-endus dan memeluk Wira, bahkan memang diminta, sebelum dia tidur.
Lima tahun lagi?
Mungkin udah malu, hahaha.