NO H8

Kemarin saya membaca sebuah artikel di Youtube mengenai seorang remaja transgender yang menjadi campaign girl untuk produk perawatan muka Clean & Clear.

Trans Teen Jazz Jennings Is The New Clean & Clear Campaign Girl

Untuk saya pribadi, ini adalah hal yang menggembirakan. Stigma LGBTQ (Lesbian Gay Bisexsual Transexual Queer) di masyarakat sudah cukup buruk dan kaum LGBTQ juga jarang ditampilkan di media ataupun film kecuali untuk lucu-lucuan atau bahan celaan. Seolah-olah menjadi gay adalah status manusia yang lebih rendah. Seolah-olah menjadi kaum banci/queer artinya nggak punya hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia.

Tahun lalu sempet ada berita mengenai seorang wanita transeksual, (almarhumah) Mayang Prasetyo, yang dibunuh oleh pasangannya; dan entah kenapa banyak banget komentar sinis dan negatif soal almarhumah macem, “perempuan jadi-jadian sih! Pantes dibunuh!” atau “nikahin cewek beneran dong!”

WHAT. THE. ACTUAL. FUCK.

Hanya karena seorang manusia adalah transgender, TETEP nggak memberikan justifikasi bahwa “oh dia pantes aja dibunuh.”

Atas dasar apa, manusia yang gendernya “bener” punya hak dan posisi lebih tinggi dari transeksual? Kasus Mayang Prasetyo BUKAN soal gender. Kasus Mayang Prasetyo adalah kasus kekerasan rumah tangga, karena si lelaki merasa dia bisa menguasai Mayang bahkan sampe membunuhnya. Media aja yang kampret bawa-bawa urusan gender.

she was a woman in a relationship with a man who felt entitled to murder her

THIS.

Dan ini nggak hanya di kalangan wanita transeksual; tapi wanita secara umum. Banyak banget kasus kekerasan dan pelecehan terhadap wanita karena si lelaki merasa bahwa dia “memiliki” si wanita. Saya emosi kalo udah soal beginian, karena saya pernah dalam situasi seperti ini.

Kadang saya heran dengan anggapan awam soal kaum LGBTQ ini. Saya sering perhatiin kalo di kelas, suka ada mahasiswa yang nyeletuk, “ih, lu gay! Hiiii, geli!” Yakalo gay kenapa sik? Do you honestly think he will even want to bang you? Pfffffft. Kege-eran.

Memang ada pandangan konservatif, terutama dari agama, mengenai LGBTQ ini. Bahwa Allah menurunkan murka-Nya di kota Sodom dan Gomorrah karena penduduknya mempraktekkan ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, dan LGBTQ dianggap tidak baik karena merupakan “hubungan yang tidak menghasilkan keturunan” — dan banyak agama yang menganjurkan supaya umatnya mempunyai keturunan untuk menyebarkan pemahaman agama tersebut. Ada orang yang tidak menyukai konsep LGBTQ, dan itu wajar.

Tetapi bukan berarti kita bisa jadi menyingkirkan kaum LGBTQ dan menganggap mereka nggak ada kan?

Mereka ada.

Mereka juga bernafas kok, mereka juga hidup kok, mereka juga bekerja kok.

Ya, saya bukan LGBTQ. Saya juga bukan aktivis HAM atau gerakan feminisme. Tetapi saya pribadi jengkel liat orang-orang yang menganggap LGBTQ itu lebih rendah. Mereka mempunyai hak yang sama untuk hidup dan dilindungi hidupnya dalam hukum dan undang-undang. They are paying taxes too, for God sake. Udah bayar pajak tapi malah dikemplang haknya apa nggak bikin emosi jiwa itu? Siapa kita berani-beraninya menganggap kaum LGBTQ lebih rendah, padahal Paus Francis sendiri menyatakan, “siapalah saya untuk menghakimi mereka (kaum LGBTQ)?” (PAUS FRANCIS, AKU PADAMU!)

Kita bisa nggak setuju dengan konsep LGBTQ, tetapi jangan sampe kita memaksakan kehendak kita ke mereka juga. “WAH LU GAY, SINI GW SEMBUR PAKE AIR SAMBIL GW BACAIN AYAT KURSI BIAR SEMBUH” atau ditabok kitab suci… Ebuset, dikira LGBTQ itu kaya kerasukan setan apa gimana. Dengan kita memaksakan kehendak (“LGBTQ itu artinya lu rusak! Ga normal! Lu harus normal!”), itu malah ngebikin hidup orang lain (dan kita) menderita.

There are millions of gay men married to women in China, academics believe. According to an estimate by Zhang Beichuan, one of the first Chinese scholars to study sexuality, China has 20 million male homosexuals of marriageable age—and 80% of them will marry a woman. In contrast, according to a 2010 Economist report, 15 to 20% of gay men in America have married heterosexual women.

The women in these marriages are quietly becoming an unlikely force in China’s nascent gay-rights movement. If men are free to openly have relationships with other men, sham marriages like theirs will no longer happen, they say. Being “homosexual is not wrong,” said Qiu in an interview. “What’s wrong is to marry a heterosexual to make a tragedy.”

China’s “homowives” are becoming unlikely champions for gay rights

LGBTQ, buat saya, bukanlah sebuah keabnormalan.

Karena pertanyaannya: Emang “normal” itu apaan sih?

Get new post delivered directly to you!

Enter your email to subscribe!

Continue reading