Oke, sekarang ini nulis lagi soal film yang baru minggu lalu saya tonton: Disney/Pixar ‘The Good Dinosaur’.
Dibandingkan dengan ‘Inside Out’, promosi ‘The Good Dinosaur’ ini entah gimana rasanya kurang… Ramai. Ini dibandingkan dengan ‘Inside Out’ yang notabene sama-sama dari Disney/Pixar ya. Kabarnya nggak lama lagi Disney juga akan rilis film animasi terbaru mereka, ‘Zootopia’ — dan film ‘Zootopia’ ini juga promosinya nggak terlalu heboh.
Saya curiganya karena mayoritas slot promosi dihabiskan untuk ‘Star Wars VII: The Force Awakens’. Hmmm.
Tapi ini bener lho. Rasanya sekarang itu dimana-mana Star Wars. Toys R’ Us sampe berapa kali rilis mainan baru Star Wars VII. Dimulai dari rilis figurine dari trilogi sebelumnya, sekarang udah mulai bermunculan figurine dan droid untuk Star Wars VII ini. Kosmetik Covergirl aja sampe ada seri khusus Star Wars dan salah satu pengrajin logam dan perak Malaysia, Royal Selangor, juga bikin seri khusus Star Wars — termasuk Han Solo yang dibekukan dalam carbonite (pewter, kalo bikinannnya Royal Selangor) ukuran life-size (yang sayang sekali nggak dijual. Karena kalo iya, itu bakalan saya jadiin pintu apartemen.)
Oke, balik ke film ‘The Good Dinosaur’.
Sebelum menonton, saya sempet ngeliat beberapa komentar temen-temen saya yang sudah menonton (tanggal tayang film di Indonesia lebih cepat tiga hari dari Malaysia) dan rata-rata mereka bilang bahwa filmnya ini… Nggak memenuhi standar Pixar. Nggak cuma mereka, bahkan kritikus film profesional juga berkomentar hal yang sama di Rotten Tomatoes. Jadi dengan berbekal rasa penasaran sekaligus “nggak berani berharap terlalu banyak juga”, saya menonton ‘The Good Dinosaur’ bersama Ari dan Wira hari Sabtu lalu.
Seperti halnya film Pixar, biasanya dimulai dengan film pendek/short. Untuk ‘The Good Dinosaur’, film pendeknya adalah ‘Sanjay’s Super Team’; dan berikut adalah komentar saya.
Sanjay’s Super Team (2015):
Berita mengenai film pendek ini bikin saya heboh; lebih heboh daripada ‘The Good Dinosaur’ itu sendiri malah. Kenapa? Karakter utama, alur cerita, dan sutradaranya adalah orang Amerika-India. POC. People of colors. Dianggap ‘minoritas’ dan ‘kelas dua’ di industri hiburan Hollywood yang notabene dikuasai kulit putih/kaukasian. Lihat film-film beken dari Hollywood, karakter POC biasanya ditampilkan secara stereotipikal: geek/kutu buku/tukang lawak/agak bodoh/mati duluan/pilih pilihanmu. Jarang ada film atau karya yang menampilkan POC sebagai… Mereka. Sebagai individu yang penuh dengan latar belakang budaya yang juga sama kayanya. Bahasa kerennya di industri: Whitewashing.
Sanjay’s Super Team ini diangkat dari “based on — mostly — true story“. Pengalaman pribadi si sutradara, Sanjay Patel, saat dia masih kecil dan menonton film-film superhero sementara ayahnya berdoa.
Reaksi saya selama menonton? MENANGIS HABIS-HABISAN. Ya saya terharu dengan fakta bahwa kebudayaan India yang dianggap “minoritas” di Amerika ditampilkan dengan sebegitu indahnya dan megahnya di layar bioskop oleh studio animasi besar seperti Disney/Pixar, ya saya terharu melihat bagaimana karakter Sanjay kecil di film itu merangkul budayanya yang beragama Hindu dan menjadikan para dewa dan dewi Hindu — Wisnu, Durga, dan Hanuman — itu nggak kalah keren (malah lebih keren!) daripada superhero-superhero modern di media massa.
Penilaian pribadi: 5/5
The Good Dinosaur (2015):
Nah…
Ini…
Jadi…
Euh. Gimana ya.
Jadi ketika saya selesai menonton, saya mengerti kenapa banyak orang berkata bahwa film ini belum memenuhi standar Disney/Pixar. Karena memang begitu.
Saya tetep ingin memberikan penghargaan penuh kepada Peter Sohn, sutradara dari film ini. Terutamanya karena dia ini nama “baru” di deretan portfolio Disney/Pixar yang penuh dengan nama-nama seperti John Lasseter, Andrew Stanton, Pete Docter, dan Lee Unkrich — semacam The Four Musketeers-nya Disney/Pixar. Memegang kepercayaan untuk membuat full-featured film itu nggak mudah, apalagi dari studio seperti Disney/Pixar, jadi Peter Sohn untuk paling tidak memegang “keajaiban” dari Pixar di film itu sendiri patut dipuji.
Nilai plusnya dulu ya.
Animasinya. YA TUHAN, ANIMASINYA. Beberapa kali saya terkaget-kaget di kursi bioskop saat melihat shot daun diterpa sinar matahari dan tetes air dengan cantiknya dan saya berteriak dalam hati, “ASTAGA, ITU DIGITAL? BUKAN BENERAN?” Luar biasa kualitas animasinya. Begitu detail dan cantik sekali.
Untuk karakter, saya sangat menyukai Spot; si anak manusia yang kelakuannya seperti anjing serigala. Saya jadi berpikir, mungkin kalo memang dinosaurus nggak punah karena meteor, dinosaurus akan sedikit lebih maju peradabannya kali ya, hahaha.
Kalo ditanya apakah saya nangis atau nggak, nah itu saya nangis sesenggukan berkali-kali (agak bingung juga karena ada yang bilang, “gw sih nggak nangis, tapi emang filmnya itu bikin perasaan hangat” — mungkin saya yang emang kelewat cengeng ya, hahaha) Ketika Spot “mengajarkan” ke Arlo, si dinosaurus, cara menghadapi rasa kehilangan orang yang disayang dengan menepuk tanah dan melolong, buat saya itu indah sekaligus mengharukan luar biasa. Ada saat ketika kita memang harus menerima kehilangan, dan menangis itu salah satu caranya untuk membuat kita lebih tabah dan lebih kuat.
Saya juga suka sisi liar dari film ini, seperti Spot yang terang-terangan menarik kepala kumbang raksasa sampe putus — terlepas kemungkinan anak-anak yang menonton bisa terkaget-kaget atau malah trauma, hahah — atau Spot yang mengunyah kumbang. Ada juga satu adegan psychedelic ketika Arlo dan Spot nggak sengaja makan buah busuk yang mengakibatkan mereka berhalusinasi. Untuk saya, ini seperti cara Pixar bercanda dengan dua tipe manusia: Anak-anak dan dewasa. Anak-anak tertawa terbahak-bahak saat adegan halusinasi karena Arlo dan Spot berubah bentuk secara fisik (kepala jadi gede, mata jadi gede, macem-macem) sementara orang dewasa tertawa terbahak-bahak karena mereka tahu betul maksudnya halusinasi/under influence/drugged itu apa.
Nah, kekurangannya film ini adalah alur cerita. Sebenernya alurnya sederhana: Seekor dinosaurus dan seorang anak manusia berpetualang dan menjadi dewasa dalam prosesnya/coming of age. Film-film Pixar juga sebenernya alurnya sederhana; salah satu favorit saya, Wall-E, alurnya itu hanya sebuah robot yang kesepian dan mati-matian menyusul temannya ke stasiun luar angkasa (kalo ga salah Andrew Stanton, sutradaranya Wall-E, bilang bahwa film Wall-E itu, “kisah cinta antara dua robot”.)
Tapi untuk ‘The Good Dinosaur’ ini… Gimana ya. Alurnya sedikit berantakan seperti Disney/Pixar ‘Brave’. Yang ditanyakan itu: “Jadi ini inti filmnya apa? Keberanian? Keluarga?” Bisa sih dapet dua-duanya (seperti ‘Wall-E’, ada satu pesan lagi di film itu: Lingkungan hidup) tapi nggak ada satu alur jelas yang menceritakan ‘The Good Dinosaur’ ini tentang apa.
Ada juga yang saya sayangkan: Karakter sampingan yang nggak dikembangkan. Ada karakter yang saya cukup suka: Forrest Woodbush (seekor styracosaurus) — agak-agak neurotik dan posesif. Tapi karakter itu hanya “selewat pandang” alias hanya sebentar saja muncul lalu setelah itu hilang. Di sini saya merasa film ini malah condong ke mantra usang Dreamworks (yang saya yakin juga sudah mulai ditinggalkan oleh studio Dreamworks) yaitu karakter lucu-lucuan yang sebenernya nggak terlalu penting. Misalnya, Scrat dari ‘Ice Age’. Apakah Scrat itu berperan penting dalam plot keseluruhan? Nggak sama sekali. Dia hanya karakter lucu — yang SANGAT menjual. Makanya Scrat ada di trilogi ‘Ice Age’. Stunt seperti itu sebenernya kurang efektif dalam ngebangun cerita — dan membangun cerita adalah salah satu poin plus Disney/Pixar. Dreamworks sendiri sudah mulai tancap gas dengan membangun cerita yang makin baik dan kompleks dengan ‘How To Train Your Dragon’. Nah, di sini rasa-rasanya kok Disney/Pixar yang malah keteteran.
Untuk saya, ‘The Good Dinosaur’ ini menghibur. Cocok untuk anak-anak karena beberapa humornya slapstick, tapi jangan berharap terlalu jauh untuk adegan yang menarik-narik perasaan dan tisu seperti 10 menit pertama film ‘Up’ atau 10 menit terakhir ‘Toy Story 3’. Belum ada adegan yang membuat rasanya ingin ikut berteriak memberi semangat seperti adegan segerombolan ikan grouper dan Dory yang berusaha membebaskan diri dari jaring sambil berteriak “JUST. KEEP. SWIMMING! KEEP SWIMMING! KEEP SWIMMING!” di ‘Finding Nemo’. Belum ada adegan yang membuat penonton bernafas lega setelah bermenit-menit menahan nafas ketika akhirnya kapten Axiom, McCrea, memencet tombol manual AUTO sambil berseru, “AUTO! You are relieved of duty…” di ‘Wall-E’.
Tetapi, ‘The Good Dinosaur’ mengajarkan saya pentingnya menerima kehilangan dan menghadapi rasa takut. Semua itu dalam keajaiban animasi yang luar biasa cantik. Tetap sebuah pembelajaran yang sangat indah.
Saya berharap semoga Peter Sohn tetap membuat karya yang cantik dan indah berikutnya.
Penilaian pribadi: 4/5