Hashtag #IndonesiaUnite muncul pertama kali di kisaran tahun 2009 saat terjadi bom Kuningan di Hotel JW Marriott. Saat itu Twitter masih “anak baru” di kalangan dunia online Indonesia, walaupun itu bukan pertama kalinya Twitter menjadi sumber penyebaran informasi saat tragedi terjadi. Ketika terjadi kebakaran di Depo Plumpang, salah satu pengguna Twitter di Indonesia yang kebetulan teman kami dan tinggal di dekat lokasi (saat ini dia sudah berdomisili di Filipina) mengabarkan melalui Twitter-nya situasi dan kondisi di lokasi rumahnya.
#IndonesiaUnite saat itu dicetuskan oleh salah seorang teman kami, Ismet, bersamaan dengan slogan “kami tidak takut.” Alasannya sederhana; teror disebarkan oleh beberapa kelompok tertentu untuk menimbulkan rasa takut dan adu domba di kalangan masyarakat. Satu kelompok mencurigai yang lain, tetangga yang satu menjauhi tetangga yang lain. #IndonesiaUnite muncul sebagai “balasan” terhadap pesan teror: Indonesia tetap bersatu, dan kami tidak takut.
Kemarin (14 Januari 2016), terjadi tragedi bom bunuh diri di area Sarinah, Jakarta. Sarinah adalah salah satu pusat perbelanjaan tertua di Jakarta, dibangun dan diberi nama ‘Sarinah’ oleh presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, untuk mengenang pengasuh beliau yang bernama sama. Lokasinya berada di area Sudirman – Thamrin, area pusat bisnis Jakarta (CBD/Central Business District). Beberapa saksi mata mengatakan, terdapat dua ledakan bom — satu di Starbucks Sarinah, dan satu di pos polisi yang berlokasi di depan pusat perbelanjaan — dan baku tembak antara pelaku dan pihak polisi. Menurut laporan dari Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia, pelaku berjumlah tujuh orang. Tiga telah tewas ditembak, empat berhasil dilumpuhkan dan ditangkap. Korban dari sipil dan polisi sendiri berjumlah 23 orang.
Saya yakin untuk berita mengenai kejadian bom ini sudah tersebar luas di media massa dan dibahas secara detil oleh media-media yang meliput, jadi saya toh nggak akan membahas lagi. Apalagi saya berada jauh dari Jakarta. Lokasi saya di Kuala Lumpur, Malaysia. Duduk nyaman di sofa sambil membaca status update teman-teman saya yang panik, bingung, dan ketakutan di Jakarta. Teman saya yang bingung karena kantornya terkena status lockdown sampai sore sehingga dia tidak bisa menjemput anaknya di sekolah — sementara anaknya juga khawatir dengan keadaan orangtuanya. Teman saya yang langsung menghubungi kakaknya yang dikabarkan sedang menuju Sarinah untuk wawancara. Teman saya yang kantornya berada PERSIS DI DEPAN lokasi kejadian.
Saya nggak bisa membayangkan rasanya bagaimana saat itu. Saya sebagai orang Indonesia hanya bisa marah dan mengutuk si pelaku: “INI NEGARAMU JUGA. INI BANGSAMU JUGA.”
Saya cukup setuju dengan teman-teman saya yang berkata “kami tidak takut” di akun media sosial mereka (walaupun tetap ada yang bercanda, “bok, kalo deket bom juga gw takut kali!“) karena bukannya takut, kami marah. Kami marah ke orang-orang yang menyakiti orang lain. Yang membunuh orang lain. Kami marah melihat beberapa keluarga yang kehilangan anggota keluarganya akibat serangan bom kemarin. Kami berduka dan meneteskan air mata saat mendengar berita korban meninggal. Kami sama-sama mengucap “Allahuakbar” saat bertakbir untuk shalat mendoakan para korban, rakyat, dan Indonesia.
Dan kami bangga melihat bagaimana rakyat Indonesia, dan warga Jakarta khususnya, tampil berani dan sigap menghadapi pelaku. Dalam waktu satu hari, pelaku telah ditangkap tanpa tambahan korban.
Dan jujur, kami bangga dengan bapak tukang sate ini.
Ada teman kami yang berseloroh, “kita bukannya takut sama bom — oke, bom emang menakutkan sih ya — tapi kita lebih takut lagi nggak bisa ngasih makan dan nafkah keluarga di rumah. Life must go on.“
Dan seperti yang dituliskan pihak Humas Polri.
Karena Jakarta kuat, tukang sate tetap awesome, dan polisi kita banyak yang ganteng.
Tetaplah kuat, Indonesiaku.