Kebahagiaan Dalam Bungkus Burger

Saat saya tumbuh besar, ibu saya selalu berkata bahwa “kebahagiaan itu ketika anak-anakmu menikmati masakanmu” — dan jujur aja, hal itu mau nggak mau dan sedikit banyak terpatri di kepala saya.

Nah, kebetulan saya ini 100% ibu rumah tangga, dan ya… Saya memang memasak untuk Ari dan Wira. Ya habisnya ngapain lagi dong kalo nggak memasak dan mengurus rumah? Hahaha. Walaupun kesannya “domestik banget sih!” atau mungkin, “wah, nggak feminis!” Saya bisa bilang bahwa saya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dan saya tetaplah seorang feminis, hahaha. Menjadi seorang ibu rumah tangga, wanita Jawa, muslim, dan seorang feminis? Kenapa nggak?

Oke, balik ke soal kebahagiaan yang sama dengan memasak untuk keluarga.

Saya rasa hal itu juga sering menjadi sorotan publik — paling tidak, “kehangatan keluarga” itu yang sering jadi bahan jualan produsen makanan di media. Seorang ibu yang memasak sambil tersenyum dengan make-up sempurna dan rambut tertata rapi lalu menghidangkan hasil masakannya yang berupa ayam panggang utuh plus sayuran dan daging dan intinya mah menu kendurian sekampung yang entah gimana caranya bisa dimasak ibu itu dalam waktu satu hari saja dan dinikmati oleh si ayah beserta (biasanya) dua anaknya (karena KB, yes…)

Saya mengakui, bahwa, iya, menyenangkan kok memakan masakan rumah. Jujur ya, kadang bukan soal rasa. Malah ada temen saya berkomentar, “gue suka kangen masakan rumah saking nggak enaknya, hahaha. Malah rasa nggak enak itu yang bikin gue kangen masakan nyokap gue.” Tapi ya karena rasa masakan itu lah yang lekat di kita dari kita kecil sampai besar. Rasa yang akrab, yang mengingatkan akan rumah.

Soal kebahagiaan.

Hari ini, badan saya nggak karuan kondisinya. Kemarin sakit kepala dan pusing, hari ini mendadak wasir kambuh jam 6 pagi — bener-bener kambuh nggak ada angin nggak ada ujan mendadak sakit aja. Eh ya bagus sebenernya sih (?) soalnya bikin saya kebangun dan shalat Subuh (adzan Subuh di Malaysia itu pukul 05:45 pagi) — badan pegel semua, dan sindrom piriformis saya kumat.

Akhirnya, untuk makan siang, saya memutuskan untuk memesan makanan fast food. Awalnya, saya memesan KFC untuk saya sendiri. Wira bilang kalau “aku makan roti coklat aja deh…” Tapi mengingat anak ini bisa banget kelaparan dalam waktu 15 menit berikutnya, jadi saya tawari, “Wira mau McDonalds Happy Meal?”

Wira bengong. Ngeliat saya nggak percaya.

Happy Meal? Buat Wira?

Lho ya iya. Buat kamu makan siang, jadi ga laper.

Bener buat Wira? Happy Meal?

Iya. Mau yang mana? Ada burger, ada bubur, ada nuggets…

Anak itu meloncat-loncat saking senengnya. “Wira mau burger! Mau burger yang pake keju! Asik! Makasih ibuuuu!” Lalu selama 60 menit menunggu staf McD dateng, dia bolak-balik dari kamar dia ke pintu depan untuk nungguin pesenannya tiba, hahaha. Ketika pesanan kami berdua tiba, kami makan bersama di meja TV sambil rebutan kanal saluran TV (Wira maunya nonton Disney Channel, saya maunya nonton LiTV).

Dari situ saya belajar bahwa… Ya, masakan rumah memang menyenangkan kok. Tapi kalo keadaan nggak memungkinkan ya nggak apa-apa. Nggak usah dipaksa juga. Bahkan dari hal sesimpel makanan fast food, kebahagiaan itu tetap ada.

Get new post delivered directly to you!

Enter your email to subscribe!

Continue reading