Setiap gw ngomong ke orang kalo gw ketemu suami lewat Twitter, biasanya direspon dengan, “HAH YANG BENER AJA LU?”
“Iya, tahun 2008…” gitu jawab gw.
Twitter baru masuk ke Indonesia saat itu; belum seramai — dan se… hore — sekarang, hahaha. Ga hanya (calon) suami saat itu, tapi gw menemukan banyak teman-teman baik di Twitter. Malah karena saking sedikitnya pengguna Twitter dari Indonesia tahun itu (2007-2009), kami sampe bisa bikin semacem grup/usergroup yang diberi tajuk JTUG (Jakarta Twitter User Group). Nama doang “Jakarta”, tapi isinya itu ya orang-orang Indonesia di Twitter yang ada berdomisili di Jakarta, Jogja, Kuwait, Singapura (suami saya saat itu), sampe Inggris.
“Anak-anak JTUG,” kami biasanya menyebut diri kami seperti itu.
Kalo ada yang baru gabung Twitter dan bingung nyari temen, biasanya diceletukin, “ke JTUG aja.” Selepas itu, halo begadang malem-malem (biasa disebut JTUG Ronda; isinya yang pada belum bisa tidur, begadang nonton bola, ngerjain proyek, atau emang dasarnya kalong) dan sebulan sekali biasanya ketemuan (“tweet-up”/TU). Orang-orangnya macem-macem; dari programer, orang iklan, insinyur, mahasiswa, ibu rumah tangga, sampe jurnalis. Tapi kalo ngobrol, yang keluar recehan semua.
Makin ke sini, yang aktif di JTUG makin sedikit. Twitter pun makin ramai dengan pengguna, sehingga kebutuhan untuk membuat grup seperti itu juga tidak terlalu dibutuhkan.
Namun pertemanannya selalu ada.
Bahkan setelah beberapa dari kami menikah dan mempunyai anak.
Ada yang bilang, persahabatan yang berjalan lebih dari lima tahun biasanya awet.
Insya Allah persahabatan kami berjalan hampir sepuluh tahun.
Gw pernah ngomong ke suami gw, “JTUG itu anak-anaknya bisa kirim emoji cium atau peluk ke satu sama lain, dan nggak ada yang cemburu.”
Apakah pernah berantem? Oh ya tentu saja; dan selalu dikonfrontasi secara langsung. We learned to be upfront, to be honest, to stop taking assumptions about each other, to talk directly when needed, and those 10 years (and counting) taught us that.
Tetap receh, tetap menggila.