Logat Medok Saya

Waktu saya kuliah S1, saya satu-satunya mahasiswa dari kota kecil yang orang (Jakarta) “heits” nggak tau. Cilacap. Kota super kecil yang penduduknya mata pencaharian berupa petani, nelayan, atau karyawan pabrik semen dan Pertamina. Lokasi dekat sekali dengan Jawa Barat walaupun masuk ke region Jawa Tengah. Makanya ada bahasa Sunda yang sedikit nempel di bahasa sehari-hari di Cilacap.

Di Jakarta, logat medok saya sangat kentara; dan selama satu semester awal saya suka dicela-cela karena logat saya itu. Satu hari di WC cewek ada temen sekelas yang bilang saya “seperti pembantu” — dan dia ga tau ada saya di situ. Sinetron banget? Banget.

Malu.

Akhirnya mati-matian berusaha menghilangkan logat. Sampe dikira saya orang Bandung.

Lalu ada temen kantor waktu masih di Maverick. Pas itu lagi makan siang. Kita ngobrol soal logat.

It’s a shame you tried to get rid your accent, Kap. Your accent is a part of your identity. In a way, it’s something you grow up with.

Saya diem.

Malu.

Kalo sebelumnya malu karena apa yang orang lain liat dari diri saya sendiri, kali ini malu karena apa yang saya liat dari diri saya sendiri.

Mati-matian megang penghapus raksasa untuk ngehapus satu bagian besar dalam hidup saya yang udah bersama saya selama 18 tahun.

Sekarang ketemu banyak temen-temen yang hebat-hebat. Yang rendah hati. Yang rame. Yang seru. Yang ngerti kalo Indonesia itu bukan Jakarta doang. Yang dengan terbahak-bahak setuju dengan slogan “BERSATU KITA NGAPAK APALO MAU GUE DEPAK SAMPE DEPOK”.

Semoga, dan Insya Allah, saya bisa meniru kerendah-hatian mereka, hebatnya mereka, dan lapangnya jiwa mereka.

Soalnya kayanya itu aja yang penting.

Get new post delivered directly to you!

Enter your email to subscribe!

Continue reading