• Highlight obrolan di grup Telegram pagi ini: Menghindari rasa bosan.

    Karena saya ibu rumah tangga, saya sedikit lebih “mudah” karena cara saya adalah “drop everything and go.” Kalo saya udah mulai jenuh, pagi hari setelah mengantar Wira sekolah saya menuju taman KLCC dan berjalan mengelilingi taman. Kadang saya sambung ke Kinokuniya (yang berujung deg-degan takut dompet jebol kalo aja ada rilis buku atau komik baru) atau supermarket Cold Storage (yang juga berujung deg-degan takut kalap beli tanaman untuk rumah. Murah sih murah, tapi kalo mendadak beli 20 pot ya piye…)

    Siang hari, baru jemput Wira dan kembali ke rumah. Siap beraktifitas.

    Agak sulit memang untuk teman-teman yang bekerja kantoran atau harus selalu siap siaga. Semoga selalu semangat menghadapi rutinitas sehari-hari.

    Category:
  • I know the reason I waited was actually quite simple: stigma. Women are supposed to love motherhood and embrace it with unbridled enthusiasm. So what, I thought at the time, was wrong with me?

    My Postpartum Depression Did Not Make Me A Bad Mom

    Saya mengalaminya juga. Belum sampai tahap postpartum depression (saya rasa lebih ke baby blues) tapi saya merasa bahwa hal seperti ini jarang, atau malah tidak pernah, dibicarakan oleh masyarakat.

    Seorang ibu HARUS bahagia saat melahirkan anaknya.

    Seorang ibu HARUS bahagia saat menyusui anaknya.

    Seorang ibu HARUS tampak menyayangi anaknya.

    Karena itu yang sering ditampilkan di media, bukan? Foto ibu yang tersenyum penuh mesra ke bayinya di iklan produk bayi atau apalah itu.

    Padahal itu juga bukan ibu dan anak betulan. Hanya model iklan.

    Iya, ada ibu yang bahagia luar biasa saat melahirkan si bayi.

    Tetapi ada juga ibu yang ketakutan. Tidak tahu harus bagaimana.

    Dan masyarakat tanpa kenal ampun akan menuding ibu itu bahwa “KAMU BUKAN IBU YANG BAIK. KAMU IBU YANG JAHAT. KAMU BINATANG.”

    Benarkah begitu?

    Seorang ibu bisa tertekan. Seorang ibu bisa menangis. Seorang ibu bisa merasa buntu dan tidak tahu harus bagaimana. Seorang ibu bisa merasa kesepian saat dia harus mengasuh anaknya sedangkan si suami pergi ke luar rumah dan bekerja — bersosialisasi. Seorang ibu bisa melihat dirinya telanjang di depan cermin — melihat semua bekas parut-parut stretch mark — dan merasa dirinya sangat buruk rupa serta berpikir “kalau saya tidak hamil, ini tidak akan terjadi.” Seorang ibu bisa melihat anaknya dan berpikir andaikan saja si anak tidak ada mungkin hidup dia akan baik-baik saja dan lebih bebas. Seorang ibu bisa melihat ke anaknya dengan penuh amarah dan berteriak, “andaikan kamu tidak ada, aku bisa menggapai cita-citaku!”

    Dan itu normal. Sungguh.

    Dan setelah mengalami semua itu, tetaplah si ibu memasang wajah dan jiwa yang gagah berani untuk mengasuh anaknya dengan penuh kasih sayang dan percaya bahwa dia bisa menjadi ibu yang lebih baik lagi.

    Rasanya saya ingin memeluk jiwa-jiwa hebat itu. Sungguh.

    Category:
  • Oke, bukan #kapkapcommentary yang per adegan — karena kalo formatnya kaya gitu, artinya saya lagi nonton di laptop atau DVD — karena ini barusan nonton di bioskop TGV Cinema di Suria KLCC.

    //embedr.flickr.com/assets/client-code.js

    Secara garis besar, ‘Inside Out’ itu bisa dibilang kejadiannya begini:

    Fans Pixar: “Gue udah kebal nangis nonton film-film Pixar, bahkan ending Toy Story 3 aja udah ga ngaruh ke gw! I can handle this!”

    Pixar: “LOL you sweet summer child you have no fucking idea.”

    I practically bawled my eyes out, like, OH. MY. GOD. ‘Inside Out’ itu kaya… Cara Pixar menjelaskan 5 Stages of Grief dalam bentuk animasi tralalatrilili yang ratingnya Semua Umur.

    Karakter utama dalam Inside Out itu ada dua tipe: Emosi dan manusia. Untuk manusia, ada karakter anak perempuan berumur 11 tahun yang bernama Riley Andersen yang hidup bersama kedua orangtuanya. Karakter emosi, yang di dalam film mayoritas merupakan emosinya Riley, ada lima: Joy (Kebahagiaan), Sadness (Kesedihan), Anger (Kemarahan), Disgust (Rasa Jijik), dan Fear (Ketakutan). Lima emosi dasar manusia.

    Alur utamanya adalah proses perubahan emosi yang dialami Riley saat dia dan keluarganya pindah dari Minnesota ke San Fransisco. Dua kota yang sangat berbeda dengan perubahan yang drastis membuat perasaan Riley campur aduk. Di Minnesota, Riley aktif di tim hoki dan mempunyai teman baik bernama Meg. Alam Minnesota yang masih alami membuat Riley tumbuh menjadi gadis yang periang dan bebas — dengan Joy sebagai emosi utamanya.

    Ketika pindah ke San Fransisco — yang digambarkan mayoritas warna abu-abu oleh Pixar — Riley mendapati bahwa rumah mereka berada di tengah kota, kecil, bau (ada tikus mati — yang saya kok sempet ngerasa itu cameo Remy dari ‘Ratatouille’ ya, hahaha), dan barang-barang mereka di truk pindahan belum sampe-sampe juga ke San Fransisco karena truknya nyasar sampe Texas.

    Joy berusaha membuat situasi menjadi positif, tapi beberapa kali emosi Riley campur aduk karena campur tangan Sadness — dan Sadness sendiri juga ga ngerti kenapa dia utak-atik memori Riley. Masalah terjadi ketika lima memori utama Riley — memori yang membentuk kepribadian Riley sebagai Riley — hampir hilang gara-gara diperebutkan Joy dan Sadness. Joy dan Sadness terlempar ke bagian Memori Jangka Panjang yang berakibat kepala Riley diisi oleh Fear, Anger, dan Disgust. Tiga sekawan itu berusaha untuk “menjadi Joy” supaya Riley tetap ceria — namun seringnya sih gagal. Disgust berusaha menjadi Joy malah berujung sarkastik ?

    Joy dan Sadness akhirnya berusaha untuk kembali ke Headquarter (tempat emosi itu memainkan peranan penting) dan mengembalikan lima memori utama Riley agar Riley kembali menjadi gadis yang ceria.

    Konsep awalnya yang berkesan “sederhana” — “apa sih susahnya bikin film soal anak perempuan berumur 11 tahun pindah rumah?” — menjadi lebih kompleks karena memang berurusan dengan emosi yang dialami anak umur 11 tahun. Setelah menonton film itu, Ari bertanya ke saya, “waktu pindah dari Jakarta ke KL ngerasa gitu juga ga?”

    Saya menjawab, “Hmmm… Saat itu dominannya Joy, Fear, sama Sadness sih. Melankolis karena meninggalkan teman-teman di Indonesia, ketakutan karena ini pertama kali tinggal di negeri orang (dan jujur aja deh, hubungan Indonesia dengan Malaysia itu seringnya sinis-sinisan), tapi juga penasaran dan senang sekali.”

    Dan jujur, saya pun masih merasa sangat senang tinggal di Malaysia ini ?

    Dan yang sedikit menarik, film ini juga sempat menunjukkan cara seseorang melawan rasa putus asa/depresi. Ada adegan ketika Joy setengah mati berusaha kembali ke alam pikiran sadar Riley sambil berkali-kali menyanyikan lagu masa kecil Riley — dan itu bikin saya nangis setengah mati.

    Karena saya, dan saya yakin banyak temen-temen juga, tau rasanya berada di satu titik terendah dalam hidup namun entah gimana ada suara kecil di dalam hati yang bilang, “oke, lu tau? Lu lebih kuat dari ini. I won’t give up on you as long as you’re not giving up on yourself.” Kita mengulang-ulang sebuah lagu bodoh yang saking bodohnya itu bisa memberikan kita semangat dan percaya bahwa hari esok akan lebih baik.

    Film ini sangat menghibur. Luar biasa menghibur. Bahkan setelah menonton film saya masih merasa di awang-awang/spaced out, hahaha. Rasanya setiap orang yang saya lihat selepas keluar dari studio itu seperti punya karakter kecil-kecil di dalam kepala mereka, hahahaha.

    Teman saya, Galih, menyimpulkan ‘Inside Out’ ini sebagai film yang berkata, “it’s okay to feel sad; but remember to be happy.

    Can’t agree more.

    P.S. MUSIKNYA. MUSIKNYA. MICHAEL GIACCHINO ITU LUWARBIYASAK!

    P.P.S. Ketika ada adegan perjalanan keluarga Andersen dari Minnesota ke San Fransisco, sempet ada satu shot pendek yang saya yakin banget itu cameo burung-burung dari film pendek Pixar ‘For The Birds’.

    P.P.P.S. Nama supir bis di film ini namanya ‘Gary’. Saya langsung keinget karakter kakek yang pernah nongol di ‘Toy Story 2’ dan film pendek Pixar ‘Gary’s Game’. Tapi ini supir bisnya masih muda. Gary ketika muda, mungkin? Hahaha.

    P.P.P.P.S. Perhatikan baik-baik saat adegan Imagination Land. Ada board game bergambar clownfish dengan nama ‘Find Me!’. Ingat siapa? Yep. ‘Finding Nemo’.

    P.P.P.P.P.S. A113 dan John Ratzenberger udah lah ya, ga usah disebut lagi. Pasti ada lah itu, hahaha.

    Category: ,
  • Post dari Path sebulan lalu:

    Ini bakal jadi tulisan panjang.

    Jadi sempet di Youtube ada Youtuber Jepang (dia orang Amerika bersuamikan orang Jepang dan tinggal di Jepang) ngebahas soal protes orang Asia-Amerika (spesifik: Japanese-American) mengenai sebuah museum yang sedang memamerkan karya seniman Jepang dan naro kimono di situ buat dipake pengunjung untuk foto-foto.

    Nah ini jadi dibahas karena: 1. Japanese-American pada protes, 2. Orang Jepang di Jepang sendiri ga masalah — malah seneng.

    Jadi lah kontra internal. Ada yang bilang “YA GABISAGITUDONG” dan ada yang bilang “butthurt banget jadi manusia, gampang tersinggung.”

    Jadi ini isu appreciation v. appropriation budaya.

    Gw sendiri orang Indonesia dan gw belum pernah ngerasa jadi minoritas “tertindas” di negara orang dan negara sendiri (what a fucking privilege, ya?)

    Tapi coba liat dari kacamata para pendatang itu di Amerika. Secara spesifik: African-American dan Asian-American.

    Mereka dihina-hina karena bawaan fisik ras mereka. Bibir dower lah, “ching-ching-chong”, atau “slanted eyes” lah. Belum lagi hak dan kesempatan mereka yang jauh lebih sedikit dibanding kulit putih (seperti Galih bilang, berapa banyak sih aktor dan aktris Asia di Hollywood?)

    Lalu para kulit putih ini mendadak menganggap budaya kulit hitam dan asia ini “eksotis”. Mereka bilang mereka “world citizen“. Mereka anggep cornrows atau kimono itu “misterius dan bergaya”. Mereka bilang henna dan bindi itu “sensual dan dipake buat summer festival.”

    Ini yang bikin banyak kaum POC (people of color) marah di Amerika. 

    You insult our physical appearances, our heritage, our beliefs, our religions, our cultures, yet you take bit of our cultures and trying to mystify it and reclaim it as your own

    Ini kaya, “ih orang India itu mah najis! Manusia kelas rendah!” tapi pamer-pamerin bindi kemana-mana dan menganggap diri sendiri “berbudaya”. Dan di Amerika sendiri isu rasisme masih kenceng banget.

    Ada beberapa orang POC yang ga ambil masalah; dan orang-orang di negara asal juga ga masalah — malah lebih santai (temen kampus gw sesama Cina malah saling menghina juga.)

    Tapi buat gw pribadi, lebih baik berhati-hati dalam melangkah. Menggunakan budaya orang lain buat kepentingan diri sendiri (apalagi kalo biasanya menghina-hina budaya dan kaum tersebut) buat gw sangat konyol — dan selain merendahkan orang lain, juga merendahkan diri sendiri.

    (Ngomel panjang pendek juga gw pas baca ini: https://opendemocracy.net/transformation/how-to-decolonize-your-yoga-practice — link dari Glenn)

    Dan ada lagi, dari bulan Juni 2015:

    Kapan gitu, gw pernah baca di forum online soal hiasan kepala Buddha di rumah-rumah.

    Kira-kira gini isinya.

    “Gw suka ga sreg kalo liat hiasan kepala Buddha yang lagi ngetren sekarang ini. Buat banyak orang, hiasan itu dianggep “religius” atau “berbudaya Timur LOL gw sangat bijaksana”.

    Hiasan kepala Buddha itu mulai ada di pasaran melalui sejarah yang rada kejam. Setiap ada gerakan militer atau konflik agama yang melibatkan pembunuhan para biksu Buddha — dan itu sering banget tercatat dari Asia Timur sampe Asia Tenggara — sering patung-patung Buddha di kuil atau vihara itu dipotong juga untuk menandai hancurnya kuil/vihara itu dan menandakan berkuasanya militer di tempat itu. Selain itu, patung-patung Buddha itu juga dihancurkan sebagai cara menghina para biksu, semacem “where’s your God now?

    Potongan kepala dari patung-patung itu biasanya berakhir di pasar loak atau pasar gelap berkilo-kilometer dari tragedi itu. Seperti barang jarahan. Dijual ke turis-turis yang ingin “berbudaya” dan membawa sepotong kebudayaan dari tanah yang mereka kunjungi untuk dipajang di ruang tamu mereka.

    Dan entah kapan mulai menjadi trend, sampai banyak sekali replika dan produksi massal kepala Buddha itu.

    Tapi gw rasa ga banyak juga yang tau sejarah yang rada ngeri dari hiasan interior rumah itu.”

    Category:
  • Frederick Ashton’s The Dream is based on William Shakespeare’s A Midsummer Night’s Dream. The ballet had its premiere in 1964 as part of a Royal Ballet programme commemorating the 400th anniversary of Shakespeare’s birth.

    Badan dan kaki — terutama kaki — sakit semua, nafas hampir habis, dan harus tetap tersenyum.

    Category:
  • Semalam baru bisa tidur selepas tengah malem karena keasikan nonton sejarah balet dari kelas publik Royal Opera House.

    Were some of the early steps influenced by the sport of fencing in the court of Louis XIV?

    Baca di bagian komentar, ada yang mengatakan bahwa fakta sejarah — terutama teknik anggar — yang ditampilkan di video ini kurang tepat. Sayang sekali ya. Semoga bisa ada video lagi dengan hasil riset yang lebih detil dan akurat.

    With all respect due to Mme. Hageli, I’ve been studying the history of fencing (and practicing the art) for some time, and I’m afraid I don’t know about any boots—the feet are turned out because it is more biomechanically efficient for the lunge. There is evidence for specialized fencing shoes, but nothing I am aware of for fencing in boots.

    Other quibbles: The dancers’ movement is not correct for baroque fencing, but rather looks like modern ballet. Further, though they have beautiful costumes, they are not using the proper weapon for the court of Louis XIV, but rather cheap reproductions of 19th century sabres.

    While I am not an expert on the history of dancing, and would not presume to comment on that subject, I am somewhat knowledgeable about the history of fencing.

    Category: