“Kap, lu kan udah punya mangascan-nya…”
Itu komentar teman saya ketika dia ngeliat komik ‘Monster’ karya Urasawa Naoki yang barusan saya beli — yang berujung uang tabungan saya mendekati ludes (dan saya baru tau kalo harga komik terbitan Viz Media di sini lebih mahal dari harga selembar kemeja Mango ?)
Iya. Saya punya mangascan-nya. Saya juga tahu akhir cerita bagaimana (dan rasanya tetep pengen banting meja setiap cerita ‘Monster’ berakhir).
Tapi saya ingin sekali punya komiknya. Komplit.
Komik ‘Monster’ karya Urasawa Naoki adalah salah satu buku yang saya bisa baca berulang-ulang kali.
Selain ‘Monster’, ada juga ’20th Century Boys’ (yang diikuti ’21st Century Boys’). Diikuti ‘Pluto’. Lalu ‘Master Keaton’.
Lalu ‘Komik Peradaban’ karya Larry Gonick. Dibaca berkali-kali pun nggak bisa bosan. Saya sampe berharap satu hari ‘Komik Peradaban’ ini bisa jadi buku teks resmi untuk pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, hahaha.
‘V for Vendetta’ karya Alan Moore. Teman saya, Ismet, berkomentar, “[V for Vendetta] itu bukan komik. Itu karya tulis filosofis.”
‘Good Omen’ karya Neil Gaiman dan Terry Pratchett. Ceritanya luar biasa kacau dan ramai (pemburu penyihir naik skuter butut bareng nenek-nenek? Ada. Malaikat ngeles ketika ditanya Tuhan? Ada. Salah sangka antara grup pemotor Harley-Davidson dengan Four Horsemen? Ada.)
Dan yang terakhir, dan ini sebenernya favorit saya setelah ‘Monster’ dan ‘Master Keaton’ (tiga karya ini ada di urutan puncak saya) — ‘The Name of The Rose’ karya Umberto Eco.