Saya pernah bercerita di sini mengenai 3-6 bulan pertama kelahiran Wira dan baby blues yang saya alami. Entah lah kalo bisa dibilang sudah mendekati post partum depression atau belum, tapi saya sempat membenci Wira di masa-masa itu — dan bahkan menyalahkan dia akan situasi yang saya alami; stuck, nggak bisa berkarir, ‘terpaksa’ menjadi susu perah ASI, dan segala macemnya label negatif yang saya tempelkan ke diri saya.
Dengan Rey, secara kejiwaan bisa dibilang saya sudah lebih stabil dan lebih tenang. Minimal saya tahu apa yang saya hadapi dan akan saya hadapi.
Tetapi ya namanya juga perasaan negatif psikis ya, itu nggak bisa 100% hilang. Lebih ke “tidur” di dalam pikiran saja.
Sabtu lalu, orang tua saya kembali ke Indonesia setelah sebulan penuh di KL untuk menemani saya sebelum dan setelah kelahiran Rey. Hari ini, pertama kalinya saya di rumah bersama Rey dan Wira saja sementara Ari bekerja di kantor (Malaysia long weekend Jumat-Senin dalam rangka tahun baru cina). Jujur, momen seperti ini — hanya ada saya dan anak-anak di rumah — yang membuat saya ketakutan beberapa hari ini. Mengingat bagaimana kondisi saya dengan Wira saat itu, saya nggak ingin hal itu terjadi lagi ke Rey.
Alhamdulillah, semua berjalan — yaaa, paling tidak ya… — lancar. Wira, sebagai abang, membantu sebisa dia dan bermain sendiri sementara saya mengurus Rey yang sedang kembung dari semalam makanya agak rewel. Tapi ya secara keseluruhan semua berjalan dengan baik dan saya bahkan bisa memasak makan siang untuk Wira dan makan malam.
Tadi sore, ketika saya sedang menyusui Rey, nah di situ mendadak rasanya seperti… Apa ya, seperti ngeh perasaan yang pernah familiar (perasaan yang pernah ada #halah) Tau nggak sih, pas lagi bengong atau gimana gitu, terus mendadak ngerasa “ih kok gw ngerasa gini ya?” Rasanya itu seperti rasa kesepian yang sepiiiii banget dan rasa sedih. Rasa “duh kok gini amat ya gw…” dan rasa frustrasi yang merayap di kepala.
Nah, itu rasa familiar di saya ya karena saya rasain ketika saya dengan Wira. Takut? Takut dong. Jangan sampe kejadian lagi, jangan sampeeee *ketok kayu*
Saya coba inget-inget lagi seharian ini ngapain dan gimana di rumah, kok bisa saya ngerasa gini. Rasaan nggak ada yang aneh-aneh, toh hanya saya dan Wira dan Rey di rumah…
Sampe saya ngeh: Hanya saya dan Wira dan Rey di rumah.
Bisa dibilang, perasaan melankolis itu — yang biasanya jadi awal semua baby blues — dimulai karena saya nggak komunikasi/ngobrol dengan sesama orang dewasa. Sebelumnya, saya baik-baik aja karena saya biasa ngobrol dengan papa dan mama saya. Sekarang, begitu mereka udah kembali ke Indonesia, saya ngobrol dengan Ari. Itu juga ketika dia di rumah. Kalo nggak? Lawan bicara saya adalah bocah berusia 4 tahun dan bayi berusia 3 minggu.
Nah, bayangin deh tuh gimana ngobrol sama dua jenis manusia itu. Yang satu ya macem “ibu ibu ibu ibu ibu liat ini bu main sama aku bu ibu ambilin aku snack bu ibu aku mau kue bu ibu ibu ibu ibu ibu” dan yang satu boro-boro nganggep saya ibu; dia mah masih nganggep saya mesin ASI, tukang ganti popok, dan tukang gendong.
Dua-duanya memberikan label “IBU” ke saya; dan itu nggak salah karena mereka memang anak-anak saya. Saya ibu mereka.
Tapi komunikasi saya dengan orang yang melihat saya sebagai “Nindya” itu ya minim sekali. Itu lah yang bikin, mungkin ya, saya frustrasi dengan keadaan saya — suka nggak suka. Karena peran sebagai ibu itu, jujur ya, capek lho. Keinginan untuk teriak “BODO AMAT!” itu selalu ada, tapi ya nggak bisa diucapkan juga, hahaha. Toh ini pilihan yang sudah diambil, beserta resikonya.
Pertanyaan “duh kok gw gini amat ya?” ditanyakan bukan saya sebagai ibu, tapi saya sebagai Nindya.
Jujur, rasanya “lega” untuk tahu apa penyebab perasaan nggak enak yang bercokol di kepala. Minimal saya tahu bahwa ini penyebab utama baby blues di saya sehingga saya bisa ngacungin jari tengah dan ngomong ke otak saya, “not now, Satan.”
Tinggal gimana cara mengatasinya sih… Sebelumnya, saya “menekan” baby blues saya (walopun ya… Alakadarnya sih hasilnya) dengan ngeblog. Bismillah.
2 responses to “Kembali Melalui Baby Blues?”
bismillah kak kaaap.. if you need to talk, we’re just one text (Whatsapp) away yah kaakk..
Amiiin! Terima kasih, teh Dini ?