Beberapa hari lalu, gw bacain buku cerita ke Wira sebagai salah satu bagian ‘ritual’ sebelum tidur.
Yang biasanya standar lah ya macem Thomas the Tank Engine, kali ini dia minta dibacain cerita dari buku kumpulan kisah ajaib Enid Blyton (bahasa Inggris). Mulai lah dengan, “once there was a little girl who doesn’t believe in fairies…“
“Ibu. What is fairy[ies]?”
Oke.
Gw… melotot.
ANAK GW GA TAU APA ITU PERI?
SEMENTARA EMAKNYA DIE-HARD FAN MONSTER LOCH NESS?
Tapi ya gimana ya.
Dengan akses informasi yang begitu cepat dan hebat saat ini, anak-anak itu ya melihat dunia mereka it is as it is. Ciri khas Enid Blyton dalam membuat cerita adalah bagaimana dia menggabungkan dunia manusia dengan dunia peri dan fantasi. Kaya… Ada hal-hal yang dilakukan oleh manusia yang ternyata berpengaruh ke peri, dan itu ga disengaja. Seperti sepatu tua yang dibuang deket sungai, eh ternyata jadi tempat tinggal kurcaci. Hal kaya gitu-gitu itu lho yang udah mulai ga ada di literatur dan bahan tontonan anak. Yang gw liat, lebih kaya pemisah jelas “oh ini dunia nyata” dan “oh ini fantasi.”
“Ngenalin peri gitu bisa lewat serial Sofia the First kan?”
Ya dan nggak.
Ya, karena dunia Sofia itu dunia sihir. Ada pegasus, penyihir, dan segala macem.
Tapi nggak, karena anak ngeliatnya ya “itu ga nyata. Itu hanya di TV” (anak jaman sekarang yeeee cepet bener dewasanya.)
What I want to do is for my children to believe there are some magical mischievousness around them.
Ngajarin takhayul? Bikin percaya yang ga logis?
Mungkin.
Mungkin.
I’m treading on a really thin line here. Tapi gw pengen anak-anak gw punya imajinasi dan pemahaman bahwa dunia ini ga terbatas hal-hal material yang mereka bisa pegang. Think Ghibli’s ‘Sen to Chihiro’/’Spirited Away’. THAT kind of moment where dream and reality collides.
Lalu gw mulai berpikir untuk mengenalkan anak-anak gw ke dongeng-dongeng klasik; dan dongeng klasik itu pasti ya nyebut salah satu nama: Grimm.
Dan jujur, gw ragu-ragu, men.
Mungkin sebab kenapa gw belum kenalin dongeng ke anak-anak karena… I know how fucked up those fairy tales are (?)
Bahkan yang udah versi Grimm, itu tetep sengklek. Misalnya, kisah The Frog King. SIAPA YANG BILANG ITU KODOK JADI PANGERAN BEGITU DICIUM HAH? HAH? Aslinya itu kodok dilempar ke dinding sama si putri saking muntabnya barulah *jreng* berubah jadi pangeran; and to be fair, that frog is definitely a fuccboi. Selain minta jadi “playfellow and companion,” juga minta:
- Duduk di meja dan kursi yang sama.
- Makan dari piring yang sama.
- Minum dari cangkir yang sama.
- TIDUR DI TEMPAT TIDUR YANG SAMA.
ALL THAT ONLY TO GET A FREAKING GOLDEN BALL FROM A POND.
Ga heran banyak cowok brengsek yang self-entitled jerks. “Gw kan udah nolong lu! Lu harus jadi pacar gw dong!” Esianjing minta ditempeleng. Udah bagus itu putrinya cuma lempar ke dinding; ga sekalian dijiret lalu dipotong jadi delapan jadiin swikee.
Makin gw baca dongeng-dongeng Grimm, makin gw jengkel. Ada pula ini raja tua yang sampe ngelarang penasehatnya nunjukin lukisan cewek ke anaknya karena si raja tau kalo sampe anak ini liat itu lukisan, langsung kepincut dan lupa ngurusin negara.
And when the prince actually saw the painting, he fainted.
PENGSAN BELIAU.
BARU LIAT LUKISAN. PENGSAN.
Terus ngabisin harta negara lima ton emas buat hadiah ke putri yang bahkan si putri ini ga kenal dia dan ga tau dia siapa SITU SEHAAAAAAATTTTT? HHHHHHHHH.
TERUS PUTRINYA DICULIK DONG.
DICULIK.
ALESANNYA?
“WA SUKA SAMA LU LOL”
TEMPELENG NIH TEMPELENG.
(maramara baca buku dongeng Grimm)
Temen gw sih ngasih saran, untuk ngenalin dongeng ke anak itu mungkin berdasarkan area geografis dulu. Jadi, misalnya, legenda rakyat Rusia, lalu mitos dan legenda Afrika, lalu kisah rakyat Indonesia. Jadi dari situ, ketika udah cukup umur, baru lah masuk ke yang spesifik macem Grimm dan Hans Christian Andersen.