Memberikan Berlian

Akhir-akhir ini di timeline social media — kalo buat saya, di Facebook. Soalnya saya udah ga nongkrong di Twitter lagi — sedang rame kejadian taman bunga amaryllis di gunung Kidul yang diinjak-injak oleh pengunjung taman.

Jadi kronologisnya begini:

Beberapa minggu lalu, ada foto yang menyebar di lingkungan socmed Indonesia mengenai taman bunga amaryllis di gunung Kidul yang katanya “nggak kalah dengan taman bunga di Eropa”. Selama ini asosiasi gunung Kidul itu gersang atau biasa-biasa aja, sehingga pemandangan taman bunga seperti itu tentu saja menarik minat calon pengunjung.

Dan benar lah, taman bunga itu langsung mendapat sorotan publik. Tentu saja tempat itu langsung didatangi banyak pengunjung, terutama anak-anak remaja/ABG yang ingin mengambil foto selfie ataupun pemandangan bunga yang cantik-cantik itu.

Masalahnya, pengunjung itu nggak hanya sekedar mengunjungi dan berfoto. Mereka juga merusak; entah sadar atau nggak. Deretan bunga-bunga itu ya diinjek-injek dan didudukin gitu aja. Entah kenapa dan entah maksudnya apa. Keadaan taman yang kacau balau begitu tentu saja langsung difoto dan diunggah ke socmed — dan langsung heboh lah publik.

Hujatan langsung turun macam hujan di bulan November-Desember. Foto-foto ABG-ABG itu dipajang jelas beserta akun socmed mereka (Instagram). Banyak yang mencaci, apalagi yang memaki.

Para ABG itu, nggak mau kalah, balas mencaci maki. “Urusan gue dong! Lu ngurus diri sendiri aja belum bisa, udah ngurusin bunga!” dan segala macemnya. Publik tambah mengamuk. Apa ini, anak-anak masih ingusan dikasih tau yang bener malah pecicilan dan ngelawan! Saru sama orang tua! Hajar balik! Langsung terpampang nama lengkap para ABG tersebut beserta alamat rumah dan alamat sekolah. Foto-foto para ABG itu tanpa malu-malu disebar, dengan muka terlihat jelas.

Sementara itu, saya bingung. Makanya saya nggak mau bereaksi ataupun berkomentar apapun mengenai kebun bunga amaryllis itu di Facebook saya.

Why you should think twice before shaming anyone on social media“, kata WIRED.

When the website Jezebel cataloged a series of racist tweets by high school students about President Obama, it not only published their names but also called their high schools and notified the principals about their tweets. In some cases, Jezebel listed the hobbies and activities of the students, essentially “SEO-shaming” them to potential colleges. Most of the kids have since deleted their Twitter accounts, but search any of their names on Google and you’ll likely find references to their racist tweets within the first few results.

Yes, what these kids wrote was reprehensible. But does a 16-year-old making crude comments to his friends deserve to be pilloried with a doggedness we typically reserve for politicians and public figures — or, at the very least, for adults?

We despise racism and sexism because they bully the less powerful, but at what point do the shamers become the bullies? After all, the hallmark of bullying isn’t just being mean. It also involves a power differential: The bully is the one who’s punching down.

Satu sisi, jujur saya sebal dengan para ABG-ABG itu yang seenaknya merusak kebun bunga milik orang lain — dan mereka bahkan sama sekali nggak meminta maaf ataupun merasa bersalah! Saya ingin sekali rasanya ikut menghujat dan menghina mereka, biar mereka tau kalo apa yang mereka lakukan itu salah. Supaya mereka lain kali mikir pake otak. Supaya mereka lain kali nggak melakukan hal yang sama.

Tapi di sisi lain… Apakah itu langkah yang tepat? Apakah itu artinya saya juga jadi tukang bully? Apalagi dengan menyebar data pribadi para ABG itu. Apakah itu suatu perlawanan yang adil; saya, anonim di balik layar dengan data pribadi yang saya bisa kontrol sepenuhnya, dengan para ABG itu, yang data pribadinya sudah tersebar ke publik tanpa seijin mereka?

Temen saya, Popon, komentar, bahwa dia setuju dengan kritik publik ke para ABG-ABG itu. “Supaya mereka tau kalo mereka salah, Kap. Ya gimana, masih banyak orang Indonesia yang kalo dikasihtau malah ngeyel. Nggak bisa diomongin baik-baik. Masih harus dikerasi.” Tetapi, dia menambahkan, sebaiknya identitas si ABG itu dijaga. “Minimal muka di-blur atau bagian mata dikasih blok hitam lah,” kata Popon lagi. “Dan jangan maki-maki nggak nggenah dan nggak puguh gitu lah…”

Dan “tugas” menjaga data pribadi orang itu, percaya atau ga percaya, jatuh di tangan kita yang notabene orang asing.

Saya pernah baca komik Islami karya mas VBI Djenggoten, bahwa menasehati secara kasar itu ibarat melempar berlian ke kepala orang lain. Iya sih, yang dilempar itu bagus, berlian. Tapi ya ngasihnya dilempar, kena kepala orang pula, kan sakit. Orang ngerasa sakit duluan, dan nggak bisa menghargai berlian yang dilempar.

Mungkin ya itu yang selama ini kita lakukan. Ngelempar berlian. Kena iya, bikin marah iya, bikin seneng mah nggak.

Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling mencurangi, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara!

Seorang muslim adalah bersaudara, janganlah mendhaliminya, merendahkannya dan janganlah mengejeknya! Takwa ada di sini –beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukup dikatakan jelek seorang muslim, jika ia menghinakan saudaranya muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, harta dan kehormatannya. (HR. Muslim)

Jadi ya… Mungkin memang masih dibutuhkan kritik publik ke beberapa individu yang melakukan kesalahan karena, kasarnya, “kalo nggak digituin, nggak bakal kapok.” Semacam hukuman massal, apalagi Indonesia itu negara yang rakyatnya sangat komunal (apa ya itu… Ikatan lingkungannya erat gitu lah.) Tapi balik ke massa — yaitu diri kita — sendiri yang ngejaga ucapan dan tindakan yang akan kita berikan ke orang yang sebenernya pengen kita nasihati.

Ya prinsipnya seperti itu: Enakan mana, ngelempar berlian sehingga kena kepala orang sampe berdarah atau ngasih berlian dengan baik dan penuh senyum?

Get new post delivered directly to you!

Enter your email to subscribe!

Continue reading