Insya Allah, kehamilan saya ini sudah memasuki minggu ke-31. Kalau ngikut hitungan, ya kira-kira 9 minggu lagi — 2 bulan lagi, Insya Allah — adek akan lahir (sehat-sehat ya anak manis…)
Dan banyak orang di sekitar saya yang sudah bertanya, “nanti gimana mbaknya?”
‘Mbak’ di sini maksudnya ya bukan sebutan “mbak” untuk kakak perempuan. Tapi ya asisten rumah tangga. ART.
Yang nanya seperti itu biasanya teman-teman saya yang dari Indonesia; wajar, karena untuk orang Indonesia, apalagi Jakarta, mempunyai anak namun tidak ada yang rewang (membantu) itu suatu hal yang… Ga terbayangkan, hahaha.
Bukan, ini bukan soal manja atau gimana lho. Memang kok, mempunyai bayi itu BERAT. Iya kalo bayinya anteng dan bisa diajak kooperatif dan tenang ketika si ibu perlu mandi atau ke toilet? Seringnya… Dikit-dikit “owek”, dikit-dikit nangis, belum lagi kalau si ibu adalah ibu baru pertama kali punya bayi, ya saya waktu Wira masih bayi sekali itu takut banget lho ninggalin dia sendirian di kamar. Padahal kalo dipikir-pikir lagi, yaelah bro, bayi newborn mah setipe kaya kubis. Lu tinggalin aja di tempat tidur pas dia lagi tidur juga ga bakal ke mana-mana. Tapi kaya gitu kan gampang di mulut ya. Post-partum depression itu ada, dan seorang ibu baru yang sendirian mengurus anak itu resiko terkena PPD jauuuh lebih besar.
Budaya Indonesia yang sangat komunal (guyub) itu lah yang membuat budaya rewang itu sangat awam di masyarakat. Jadi ya tentu saja pertanyaan, “nanti siapa yang bantuin?” selalu ada.
Nah, itu salah satu alasan juga kenapa saya menunggu Wira usia 5 tahun untuk mempunyai adik lagi. Salah satunya juga karena iklan KB sewaktu saya SD dulu yang sering ditayangkan di TV, hahaha. Saya inget banget karakter kartun si adek bayi berkata, “ibu baru bisa mempunyai adek lagi ketika aku berumur… Lima tahun!” Jadi mungkin sejak jaman saya gadis (tsah, gadis…) udah terpatri di kepala, “kalo mau punya anak lebih dari satu, jedanya 5 taun aja.”
Karena, nyari ART di sini SUSAH lho.
“Hah, masa sih susah? Kan Malaysia, Kap. Banyak TKW ke sana!”
Iya, banyak kok pekerja domestik dari Indonesia yang mengadu nasib ke Malaysia. Masalahnya, sistemnya udah nggak mudah lagi. Kalau mau mempekerjakan seorang pekerja domestik, musti lewat agen — dan itu biayanya nggak sedikit. RM 6000, minimal (duh, itu berapa ya dalam Rupiah… Errr, 21 juta lah kira-kira.) Itu belum lagi dengan uang gaji segala macem. Soal gaji, ini juga saya kesel karena biasanya dipotong agen dalam jumlah besar. Ya udalah para wanita-wanita hebat ini berjuang mengadu nasib di negara orang untuk menaikkan taraf hidup mereka, eh gaji mereka masih dipotong-potong pula.
Nah, katanya sih perjanjian melalui agen ini sejak taun 2013 dilaksanakan antara Malaysia dan Indonesia untuk mengurangi resiko para pekerja yang disiksa atau nggak dibayarkan gajinya oleh majikannya di Malaysia (saya pernah ngobrol sama staf KBRI dan mereka cerita kalo ada TKW yang udah paspornya ditahan sama majikannya, gaji nggak dibayar selama 8 bulan. Akhirnya si mbak ditampung KBRI dan bekerja jadi staf bersih-bersih untuk sementara di KBRI Kuala Lumpur) — tapi ya tetep resiko itu ada, apalagi kali ini para pekerja domestik juga terikat kontrak dengan agen.
Karena keruwetan itu lah, saya dan Ari memutuskan untuk nggak menggunakan jasa pekerja domestik yang tinggal bersama kami. Kami memutuskan untuk menggunakan jasa bersih-bersih profesional yang datang seminggu sekali untuk membersihkan rumah secara menyeluruh.
Saya menunggu hingga usia Wira 5 tahun juga karena alasan “tenaga kerja”, hahaha. Insya Allah Wira di usia 5 tahun ini sudah bisa mandiri, bahkan ikut membantu sedikit-sedikit. Membawa piring kotor ke dapur, memasukkan baju ke mesin cuci, sudah bisa ke toilet sendiri (penting!), dan membereskan mainannya sendiri (MAHA PENTING! Hahaha~) Terutamanya juga untuk kedewasaan emosional dia.
Saya yakin betul bahwa begitu adiknya lahir, otomatis — suka nggak suka — perhatian saya akan terbagi. Paling tidak, sorot perhatian sudah nggak bisa 100% di Wira. Harapan saya, dengan dia sudah berusia 5 tahun, dia paham dan mungkin bisa saya ajak dia untuk membantu saya merawat adiknya sehingga dia bisa memupuk rasa sayang ke adiknya yang masih bayi.
Soal ART… Jujur, sesiap-siapnya saya, tetap lah ada rasa deg-degan ya, hahaha. Alhamdulillah saya mempunyai support group ibu-ibu di grup WhatsApp saya, dan banyak yang menyemangati — bahkan beberapa ada yang mempunyai dua anak, satu batita dan satu bayi, dan nggak menggunakan jasa ART juga (!) “Insya Allah bisa, Kap!” ucap mereka. Bismillah, semoga saya juga kuat dan bisa, hahaha.
3 responses to “(Insya Allah) Dua Anak Tanpa ART. Bagaimana?”
What? 21 juta rupiah utk mendapatkan asisten rumah tangga???? *melotot, zoom in zoom out*
makjan mahal bener!
Iyaaa, itu baru bayar agennya lho teh Tika *kraying* Belum sama yang lain-lainnya, huhuhuhu~
[…] pernah nulis di sini kalo nyari ART di Malaysia itu sulit — mahal, tepatnya. Bayar agen aja sampe makan biaya 21 juta, belum termasuk gaji segala macem. Belum lagi urusan […]